"Lang, plis. Dengerin gue!"
Nafas Banyu naik turun. Pagi ini, di rumah, cuma ada mereka berdua. Nenek dan bunda kebetulan lagi pergi. Banyu ingin segera meluruskan sebelum semuanya semakin rumit.
"Lo mau jelasin apa, hah!" seharusnya mereka berangkat ke sekolah. Tapi, lagi-lagi mereka perang mulut.
"Gue bener-bener minta maaf." Tulus, yang Banyu lakukan sungguh tulus. "Gue mau, kita lupain kejadian ini." Tentu, harus dilupakan dan dia harap, tak akan pernah ada kejadian seperti ini, terulang kembali. Banyu tak bisa, jika harus dalam situasi yang tak mengenakan begini. "Gue mohon, kita baikkan. Oke?"
Tatapan Langit melembut. Dia membuang mukanya ke segala arah. Langit tak paham dengan apa yang terjadi dirinya sendiri. Langit merasa dirinya aneh sejak Banyu menodong Bening. Kedua iris Langit beralih menatap Banyu dalam. Apa Langit keterlaluan? Apa dia berlebihan? Haruskah sebegininya? Banyu cuma bertanya kan saat itu? Banyu cuma memastikan. Kenapa Langit berpikir pendek? Apa hak dia marah-marah?
"Gue harus pergi." Bukan tak memaafkan. Langit kalah dengan ego. Padahal Banyu tak melakukan hal yang buruk pada Bening. Dia butuh tempat merenung. Merenungkan kesalahannya. Langit sadar. Dia juga salah. Salah sama Banyu.
"Lang, Lang!"
-BanyuLangit-
Dari pagi hingga siang menjelang. Yang dilakukan Langit adalah menghindari Banyu. Sampai pada akhirnya, dikala Banyu memasuki masa latihan. Dia belum ada di lapangan, karena masih mencari Langit. Yang tiba-tiba ngilang entah kemana. Dihubungi juga tidak bisa.
Banyu memasuki ruang latihan Langit dan mereka cuma ada tiga orang rekan Langit. Bobby, Gara, dan Ian. Mereka juga tak melihat Langit katanya.
"Kemana si lo dek?" Banyu menjambak rambutnya sendiri. Bingung nyari adik satu-satunya itu.
"Yaf!"
"Ya?" orang bernama Yafi, anak basket yang sedang berjalan, menjadi sasaran Banyu untuk bertanya. Tapi, sedetik kemudian Banyu urungkan.
"Nggak jadi." Sudah keliling sekolahan. Tapi Langit tak ada dimana-mana. Kecuali langit yang di atas sana. Banyu memutuskan pergi ke lapangan. Sudah hampir memasuki waktunya latihan. Pasti Babam sudah ngedumel tak jelas. Karena lagi-lagi Banyu telat.
"Tunggu, Nyu." Yafi ternyata mendekati Banyu. Tanpa ditanya, Yafi langsung ndongeng apa yang barusan dia lihat. "Sebenernya gue perlu nggak sih ngomong ini?" tanya Yafi sendiri sama dirinya sendiri.
"Buruan," Banyu kesal sendiri, Yafi bertele-tele. "To the point."
"Oke, tadi gue liat Langit."
"Dimana?" tanggap Banyu tak sabar.
"Bentar dulu ngapa?" Yafi berdehem. Kemudian lanjut bicara lagi. "Tadi kan gue pulang dulu. Abis itu gue kesini lagi. Terus dijalan ada pak polisi, gue kan belum punya SIM. Jadi gue nyari jalan tikus-"
Banyu memutar bola matanya jengah, "perlu ya pake curhat?"
"Ih, bentar. Jangan potong dulu." Muka Yafi nampak kesal. Tapi dia terus saja mendongeng. "Nah, di gang sempit di deket pabrik bekas di sono, no." Yafi menunjuk arah pabrik yang sudah tak terpakai. Ada di sebelah timur, tak terlalu jauh dari sekolahan. "Gue ngeliat Langit. Dia jalan buru-buru. Gue nggak-"
"Gue pinjem motor lo." Yafi seketika memberikan kontak motornya. "Thanks Yaf."
"Woe! Gue belum selesai ngomong!"
-BanyuLangit-
Ada enam orang menyeringai pada Langit. Sekarang mereka mengepung Langit. Mengitari dengan membawa balok kayu panjang. Langit menatap mereka sengit. Tak ada rasa takut yang nampak diwajah Langit.
"Dimana Bening?"
Siang tadi, pulang sekolah. Langit mendapat surat ancaman bahwa Bening akan dilukai jika Langit tak menemui mereka. Memang sejak istirahat makan siang, dia tidak melihat batang hidung Bening. Maka dari itu, tingkat kekhawatirannya bertambah. Kala dia tak menemukan Bening dimanapun.
"Tenang aja, dia aman." Salah satu dari orang memberi kode salah satu orang, untuk segera menyerang Langit. Meskipun kondisi Langit yang penyakitan. Dia masih bisa sedikit bela diri. Dan dia juga masih bisa melawan satu orang itu dengan mudah. Langit segera memasang kuda-kuda dan mengunci sang lawan. Lalu membantingnya ke lantai semen disana.
'Prok! Prok! Prok!'
"Woah! hebat juga kamu. Tapi tidak setelah ini." Sial, Langit sendirian dan harus menghadapi lima orang sekaligus. Awalnya baik. Langit bisa menghindari pukulan balok mereka. Menendang dan meninju orang-orang itu. Na-as, satu orang berhasil menendang perutnya.
"Ssh," Langit memegangi perutnya, tepat bagian ulu hati. Tidak putus asa. Langit tak menyerah, walau seraya meringis sakit. Langit bangkit. Dia bertahan dan siap melawan. "Pengecut, beraninya keroyokan."
Tak mengindahi ucapan Langit, "Masih kuat juga ya?" orang yang mungkin dianggap bosnya itu memberi perintah lagi pada anak buahnya.
Kali ini, karena Langit lengah. Pukulan balok salah seorang-bisa dibilang preman-mendarat tepat di kepala sebelah kanannya. Tubuhnya limbung dan jatuh menghantam lantai.
"Dasar lemah." Samar, Langit masih melihat preman yang banyak bicara ini. Lama-lama pandangannya memburam dan menggelap.
-BanyuLangit-
Terima kasih sudah membaca.
Salam hangat,
HOIWonosobo, 23 Oktober 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Banyu Langit ✔ [TERBIT]
Teen FictionDapat dipesan via IG @Amorimey.media [FIN] It's all about loving our parents, brothers, and friends. A little cry and put some sweet love. That's a life. -BanyuLangit- © 2018, Hoiland.