Prolog

275 29 47
                                    

Gimana, ya?
Aku nggak ngerti sama sekali sama apa yang ada di otak semua cowok-cowok kurang kerjaan itu.
Cinta? Suka? Omong kosong.
Remaja seperti kalian tahu apa soal cinta?
Basi.
Kayak gorengan Mang Ujang yang udah disimpan seminggu.
Gak enak sama sekali.
- Nadia

Dalam satu kali tatap itu, entah bagaimana binar manik matanya mampu menarik gue mendekat.
Kian dekat.
Kian dekat.
Lalu, berubah pekat.
Perasaan ini entah harus gue namai dengan apa, yang jelas desir itu kian menggelora saja di setiap detiknya.
- Angkasa

Gue berperan sebagai apa disini?
Pokoknya apapun itu, gue harus jadi tokoh utama dalam setiap kisahnya.
Gue nggak mau tahu.
Dan orang yang gue suka, gimana pun caranya dia harus suka balik sama gue.
Kalau gue bisa dengan gampang masukin bola ke ring dalam sekali shoot, gue juga harus bisa dapetin dia dalam sekali shoot juga. Titik.
- Arjuna

***

Nadia

Aku menyeret barang bawaan yang entah bagaimana terasa semakin berat saja, menuju shelter bus di depan. Mungkin seluruh emosiku karena harus menunggu bus antarkota jurusan kotaku selama satu jam lebih ikut tertuang didalam koper itu, dan juga sengatan matahari pukul 1 yang sedang terik-teriknya ikut membuatku kepayahan. Walau tak kupungkiri kanopi terminal tetap menutupi, tapi tetap saja semuanya berhasil membuatku gerah dan kesal!

"Nek, tapi Nadia masih ingin disini...." Rengekku untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar berpisah dengan wanita paruh baya yang sungguh kusayang ini.

Lagi-lagi beliau tersenyum dan menepuk lenganku gemas, aku mengaduh.

"Jangan manja kamu, Nduk. Senin sekolahmu sudah masuk lho, ya!"

"Tapi, Nek," Aku sempurna berhadapan dengannya, "Nadia kan bisa lanjut sekolah disini aja, biar sama Nenek, biar Nadia bisa merawat Nenek. Emangnya Nenek gak kesepian tinggal sama Bulek Aini aja?"

"Kita sudah pernah bahas ini, lho. Kamu harus menyelesaikan SMA-mu dulu disana, baru nanti kuliah kalau mau disini nggak apa-apa. Lagipula sudah kelas 11 masa mau pindah? Kan sayang, Nduk!"

Aku mendesah, menjatuhkan diri di bangku terdekat. Sial, lagi-lagi aku harus menunggu karena ternyata itu bukan bus yang kutunggu.

"Nadia gakpapa kok, Nek." Bujukku seraya memegang tangan Nenekku sekaligus menggiringnya duduk, "Lagian juga ini masih kenaikan kelas 11 kan, belum juga mulai tahun ajaran baru, jadi pindah gakpapa kok, Nek."

"Cukup. Itu bus-nya sudah datang. Jangan dibahas lagi." Pungkas nenekku karena mendengar informasi pembicara lewat speaker tentang jurusan bus yang baru datang.

Mendengarnya, aku sontak menoleh dan berdiri. "Ayolah, Nek.... " Rengekku lagi dengan memelas.

Tentu saja, pembicaraan itu berujung percuma seperti yang lalu-lalu. Nenek tetap menyuruhku pulang, dan aku harus bersabar untuk dua tahun lagi.

Aku melambai pada Nenek yang berdiri di shelter dengan wibawanya yang biasa sebelum bus ini benar-benar melaju. Aku sungguh menyayanginya, gurat wajahnya yang tegas dan cantik selalu mampu menenangkan segala kecewaku. Padahal garis wajah Mama tak berbeda jauh dengan Nenek, tapi entah bagaimana aku lebih menyayangi Nenek. 

Eits, itu bukan berarti aku tidak menyayangi Mamaku, lho, ya!

Bus kian melenggang di jalanan kota Bandung yang ramai—walau tak seramai jalanan di kotaku. Aku menyandarkan tubuh di kursi sambil memasang headset, membunuh waktu perjalanan dengan berdiam diri sambil memikirkan banyak hal. Beberapa hal enak untuk dipikirkan, tapi sisanya tidak. Aku buru-buru menutup mata, berusaha terlelap—walau berujung tak bisa—untuk mengusir pikiran-pikiran yang mengganggu itu.

Jika saja aku kebagian tempat duduk di samping jendela, aku pasti tidak akan mati bosan begini.

By the way, bangku sebelahku diduduki oleh seorang ibu hamil tua. Dan, Hei! Aku sama sekali tidak tega membiarkan seorang ibu hamil duduk kesempitan begini. Jadi kuputuskan untuk menyerahkan bagian kursiku padanya, walau aku harus berdiri dan menjadi tontonan mata satu isi bus.

Apa, sih, lihat-lihat. Gak pernah lihat kernet bus cantik apa!

Aku membunuh tatapan semua pasang mata dengan tetap bermusikria. Aku tidak peduli.

Dan karena kebaikan pasti akan dibalas kebaikan, tak lama setelah aku berdiri, seseorang menyuruhku duduk di bangkunya karena ia sudah akan turun di shelter depan.

Kini, aku telah sempurna duduk di bangku kembali dengan nyaman—tentu saja dengan headset yang masih setia terpasang. Tak lama setelah itu, baru saja mengenakkan diri sejenak, tiba-tiba saja headset-ku sebelah kiri ditarik paksa oleh seseorang yang menjadi teman sekursiku. Aku dibuatnya mengernyit kaget hingga memaksaku untuk menoleh ke arahnya.

"Dengerin apa, sih? Asik bener," ucapnya santai sambil menempelkan headset itu di kuping kanannya.

Aku menatapnya kesal bercampur heran. Bisa-bisanya ya dia bertingkah begitu dengan orang baru? Aku bahkan belum genap 5 menit duduk disini, di sampingnya. Tapi dia sudah bisa se-sok akrab itu?

Tadi aku tidak mengira bahwa ternyata aku akan duduk dengan seorang laki-laki yang sepertinya seumuran denganku, karena ketika aku duduk tadi dia sedang memainkan ponsel dan wajahnya tertutup topi. Dan lagipula, aku nggak peduli.

Aku pun langsung menarik kembali headset-ku tanpa berkata, yang malah memancing tatapannya untuk bertemu dengan mataku. Aku tetap menatapnya dengan tatapan tak bersahabat. Selama beberapa detik dia diam menatapku, lalu setelahnya nyengir dengan tampang tak berdosanya.

"Hai. gue Asa, Angkasa. Salam kenal." Dia menjulurkan tangannya, tapi tak kuterima. Aku hanya menyedakapkan tangan dan mengangguk, berharap dia akan diam dan tak akan menggangguku lebih lama lagi.

Dia menurunkan tangannya dengan nyengir, lalu bersender lagi di kursinya. Aku mengembuskan napas lega.

Tapi, belum lama merasa lega, ketenanganku lagi-lagi diusik. Merasa tanganku disenggol-senggol, aku pun menoleh dan tentu saja dengan tatapan sebengis yang aku bisa.

Asli, makhluk ini! Maunya apa, sih!

"Lo suka dengerin lagunya Roxette juga, ya?" tanyanya setelah aku melepas headset untuk mendengar omongannya yang tak penting itu.

Aku tak menjawab, hanya mengedikkan bahu sebagai ganti dari ucapan 'yah begitulah.'

"Wah, kok sama kayak gue," katanya kelewat antusias.

Aku menatap kesumringahannya sebentar, lalu kembali mengedarkan pandanganku kedepan dan memasang headset kembali.

Aku tak peduli.

Melihatnya, aku yakin, dia tipikal cowok playboy yang suka cari-cari perhatian dengan cara sok asiknya itu. Bahkan aku juga yakin, dia tidak betulan suka sama Roxette. Palingan dia hanya tahu, hanya sekadar tahu. Bilang suka? Ah, basi. Itu hanya akal bulusnya saja biar bisa mengajakku bicara.

Tidak. Terima kasih.

Aku tidak tertarik sama sekali, bahkan jika wajahmu setampan Ji Chang Wook sekalipun.

***


See you soon,

Love

#A lettersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang