1 | Snowy

4.1K 376 20
                                    

Mata kelamnya menatap garis rel kereta jauh hingga tidak tampak lagi karena ditelan kabut pagi musim dingin. Sepi. Hanya ada lima keberangkatan dan kedatangan pagi ini. Apalagi badai salju cukup lebat. Orang-orang lebih memilih menyesap cokelat hangat sambil berdiam di depan perapian daripada melakukan perjalanan. Tidur bahkan lebih baik lagi.

"Akhirnya datang!" Nada suaranya meninggi, menandakan bahwa dirinya lega. Bunyi peluit kereta api terdengar nyaring menubruk telinga. Kepulan asap jelas terlihat mengungkung putihnya hari yang dikelilingi salju. Matanya mengerjap, lalu mengambil langkah mundur saat getaran semakin terasa. Kereta api berhenti dan pintu kelima terbuka tepat di hadapannya.

Enam, tujuh, sebelas, limabelas orang keluar dari gerbong kereta. Dia masih mencari-cari sosok yang ditunggu. Ibu bilang perawakannya tidak terlalu tinggi, dengan kulit seputih miliknya, juga wajah yang dalam sekali lihat, langsung tahu bahwa Tuhan menghabiskan waktu lebih banyak saat menciptakannya. Mata bulat itu kembali mengerjap, tepat ketika sapuan salju semakin kencang. Semakin dingin.

"Irene-ssi?"

Lekas dia memutar tubuh 90 derajat ketika seseorang memanggilnya. Dalam tiga detik mengamati keseluruhan presensinya, dia tahu ibunya tidak berbohong. Pemerintah harusnya melarang seseorang memiliki wajah seperti itu. Pertikaian antar wanita bisa terjadi setiap dia menjejakkan kaki di suatu tempat.

"Aku kira kau keluar dari gerbong lima." Dia memberikan senyuman, lantas membungkuk dengan tangan ditangkupkan pada perut. "Selamat datang di Prefektur Hokkaido, Kim Junmyeon-ssi."

Pria yang ditunggu, Junmyeon, segera membalas sapaan wanita yang menungguㅡIrene, begitu dia dipanggil tadi.

Tanpa basa-basi, dia mengajak Junmyeon keluar stasiun kereta. Berjalan memasuki mobilnya yang terparkir dan sudah dipenuhi salju pada kapnya. Tanpa basa-basi, Junmyeon memasukkan kopernya ke bagasi. Kemudian mengikutinya ke dalam mobil, duduk di sampingnya yang mengemudi.

"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke rumahmu, Irene-ssi?" Junmyeon bertanya selagi tangannya membuka syal yang dipakai, menoleh padanya yang mulai menjalankan mobil.

Dia memutar kemudi, menjawab pertanyaan Junmyeon. "Kau berbicara seolah tidak pernah ke sini." Dia memberikan senyum tipis. "Dua jam dengan kecepatan 40km/jam. Waktu yang cukup untuk kita berbincang. Bukankah itu yang kau mau, Jumyeon-ssi?"

Sabit tipis terbit di bibir Junmyeon. Benar kata mereka, dia punya pola pikir memahami. Dia beradaptasi dengan cepat. Junmyeon selalu senang kala ada yang bisa menebak pikirannya. Membuatnya nyaman untuk menjalin percakapan.

"Aku tidak akan bertanya bagaimana perjalananmu dari Tokyo ke Sapporo, karena Ibu bilang kau sering mengunjungi mereka. Aku kira kau akan naik helikopter dari Sapporo ke Asahikawa karena ada aku. Bahkan tidak ada pengawal meski kau naik kereta api sendiri. Down to earth, huh?" Dia berkata dengan intonasi datar. Junmyeon dibuat tergelak olehnya.

"Aku tidak ingin menarik perhatian masyarakat Asahikawa dan media. Apa kau mau dijemput menggunakan kereta kencana oleh pangeranmu, Irene-ssi? Aku yakin tidak. Kau adalah wanita yang akan lebih memilih menunggang kuda."

"Aku menyukaimu," katanya menanggapi Junmyeon yang bisa menangkap candaannya. "We'll get along well."

Junmyeon mengangguk mantap, memandang jalanan sepi dan menikmati deru mobil yang melaju mulus. Di kanan dan kiri hanya ada salju dan warna putih. "Aku sudah membaca proposal tentangmu. Semua kegiatanmu selama sepuluh tahun di Washington, dan track record milikmu sejak kuliah hingga bekerja di salah satu biro akuntansi terbaik di sana."

"Apa aku sudah cukup mengagumkan?" tanyanya.

"Tentu saja." Junmyeon jujur pada kalimatnya. "Kalau tidak, mana mungkin dua tahun ke belakang ini aku ke Asahikawa untuk menjalin hubungan dengan orangtuamu. Jadwalku bukan hanya di Tokyo saja, Irene-ssi. Kadang aku terbang dari Taiwan menuju Jepang hanya untuk mengunjungi orangtuamu."

EVERGREENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang