Tragedi ulang tahun

920 64 77
                                    


Salah satu dari mereka menggenggam pisau.

.

.

.

Siren terkesima. Dia bukan berada di suatu keadaan yang harus berpikir cekatan. Otaknya seperti membeku. Matanya juga, napasnya juga. Tapi jantungnya berdegup kencang.

Ya, penglihatannya tidak salah. Benda yang di genggam dengan ujung lancip mengilap itu memang pisau.

Pisau yang sudah tertodong pada pria satunya yang tersudut di atas tanah.

Tunggu,,

Penglihatan nya pasti salah.

Gadis itu mencoba memicingkan matanya, mengedipkan nya berkali kali. Berharap dua pria disana hanyalah khayalan nya yang terbentuk akibat ketakutan nya oleh hujan dan guntur di sore menjelang malam itu.

Tapi tidak,

Dengan ia memperjelas penglihatannya dengan menghalau hujan lebat bak kota terkutuk di sana, ia mendapat jawaban.

Dua pria.

Si Pemegang pisau dengan tunik hitam yang terlihat lebih muda. Dan pria satunya dengan stelan hitam, tubuh gempal, dan berumur lebih tua.

Si pemuda dan pria paruh baya.

Siren menutup mulutnya rapat, saat pekikan hendak keluar dari mulutnya, saat sebilah pisau kecil nan tajam itu mengayun ke perut pria paruh baya yang tak lagi berdaya di atas tanah.

.

Pisau itu mengayun cepat, mengunus hujan dan angin kencang. Mengarah pada perut besar pria paruh baya yang tak lagi berdaya di atas tanah berumput di sana.

Pisau itu memang kecil. lebih kecil dari kelopak tulip dan tak setipis ilalang. Namun pisau itu kini kebih menakutkan dari sabit malaikat pencabut nyawa.

Tak ada yang bisa pria paruh baya itu lakukan. Apa ia pasrah saja? Apa ia akan mati? Apa seperti ini cara ia mati?

Apa ini kutukan?

Tidak,

Dia tidak boleh mati sekarang. Tidak sebelum ia membunuh 'orang itu' dengan tangannya sendiri.

Dia benar benar tidak boleh mati sekarang.

Rasanya pisau itu masih melayang setengah detik yang lalu. Seharusnya detik ini pisau tajam yang mungil namun mematikan itu sudah berada di dalam perutnya, bercampur dengan organ tubuhnya, mengocok darahnya hingga muncrat kemana mana.

Tapi tidak, pria paruh baya itu belum mati. Kesadarannya yang minim mengingatkannya kalau ia menolak untuk mati.

Ia menghirup rakus udara beserta angin hujan yang menusuk nusuk wajahnya.

Darah bercucuran, bukan dari perutnya. Melainkan kedua telapak tangannya yang berusaha menahan pergerakan pisau yang seharusnya sudah menghunus bagian vitalnya. Dan pria paruh baya tahu itu.

Ia mengangkat tangannya yang sudah sangat keram beberapa detik lalu, saat ia merasa kalau ini bukanlah saatnya ia untuk mati, saat ia merasa bahwa pisau itu akan menusuknya seinci lagi, saat ia merasa bahwa tangannya bisa menahan gravitasi dari benda tajam itu.

Walau ia tahu, dengan tenaga yang sangat minim yang ia punya, dengan persentase terkecil pada peluang hidupnya, ia masih berusaha bertahan hanya dengan kedua tangannya_meski harus bersimbah darah.

Dan ia berhasil_pria paruh baya itu berhasil menahan pisau itu_

untuk saat ini.

.

Help Me (Revisi Sebelum Lanjut)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang