"kau memang ingin mati".
Siren, gadis yang sudah di guyur oleh hujan itu menampakkan wajah takut yang tak di sembunyikannya. Ekspresi yang mengartikan, aku ketakutan setengah mati.
Hei, Jangan bercanda.
Lagipula, siapa yang ingin mati?'Siapa manusia yang hidup yang ingin mati? '
Siren menenggak ludah kasar.
Bukti bahwa lelaki didepan nya tak terlihat sedang bercanda, membuat pikiran siren membeku.
Dan sampai berlalunya setengah menit, mereka masih bertatapan. Hanya bertatapan.
Lalu, sebuah suara yang berat dan sedikit serak mengagetkan nya.
"Kau, " Cowok itu berucap tepat di depannya. Dengan mata memicing, mencoba melihat wajah siren lebih jelas.
Masih dengan posisi mereka masing masing, Siren mendapati pemuda di depannya itu mendekati wajahnya. Membuat siren semakin takut dan memundurkan bahunya bersamaan dengan lelaki itu memajukan wajahnya. Benar, ia ingin melihat wajah siren lebih dekat di kegelapan sore menjelang malam.
Dan, matanya sukses membulat. Lelaki itu seakan mendapatkan jawaban yang ia cari dari wajah perempuan berseragam di depannya.
"Kau.. " Ulangnya lagi. Namun kali ini lebih intens, lebih dalam. Bisikan nya menghunus deruan hujan. Siren bergidik.
Ada apa?
Siren tak bergerak. Alih alih penasaran, ia malah bertambah takut.
Fakta bahwa pria paruh baya yang dia tolong kini tak bisa berbuat apa-apa, bahkan dalam jarak dekat siren menyadari betapa hancur wajahnya. Tinjua pasti sudah berkali kali mendarat di sana. Ia benar benar tak berdaya.
siren merasa tekad dan keberaniannya sia-sia. Ia tahu, ia telah menjerumuskan dirinya sendiri dalam jurang yang sangat dalam.
Lama, Tak ada kelanjutan dari mulut lelaki itu. Kalimat yang tadinya ingin ia lontarkan terganti dengan helaan napas berat. Membuat satu kata 'kau' tadi_yang sudah dia lontarkan dua kali_tergantung di pikiran siren.
Hingga satu menit berlalu, cowok berseragam itu merenggangkan pisaunya yang otomatis siren juga demikian. Tapi kedua tangannya tetap kokoh di sana.
Siswa itu melepaskan tangannya dari genggaman pisau. Melewati telapak siren yang kecil tapi tak mau kalah. Hingga satu-satunya yang menggenggam pisau adalah dirinya, siren.
Melihat pemuda itu melepaskan pisaunya, berdiri dan menjauh satu meter dari TKP, siren menautkan alis ada apa? Tapi siren tak mungkin bertanya langsung. Dia memilih diam. Tapi matanya tetap risau, mengamati aksi dari setiap gerakan cowok itu.
Hujan tak reda, malah makin deras saja. Betis dan lengannya yang tak terbalut kain bergetar. Dia kedinginan. Tapi ia tak memikirkan hal itu dalam keadaan genting seperti ini.
Pemuda itu masih berdiri kokoh dari jarak satu meter. Dia seperti pengawas. Ah, tidak. Ditambah dengan suasana sekarang. Dia lebih mirip seorang kriminal kelas kakap. Tubuhnya seperti tak bereaksi terhadap hujan. Wajahnya terlihat masih muda, tp di mata siren cowok itu bagai penjahat yang diam dengan seribu rencana di kepalanya. Siren mencuri pandang, dan dilihatnya cowok itu sedang merogoh sesuatu di dalam sakunya.
Dengan sangat perlahan, siren meletakkan pisau itu di sampingnya. Entah kenapa dia sangat berhati-hati. Dalam pikirannya, bayang-bayang cowok itu bergentayangan, membunuhnya dengan cara tragis. Linggis, paku dan palu, sekop dan benda semacamnya menembus perutnya dari belakang. Padahal siswa itu bukan psikopat. Iya kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Help Me (Revisi Sebelum Lanjut)
RandomMemasuki masa remaja, bukan cinta yang mereka rasa. Hanya ada tangis dan derita. Juga darah, yang sudah jadi hal biasa.