PROLOG

3.5K 168 58
                                    

Laki-laki itu memejamkan matanya sejenak. Menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah dan rambut hitam kecoklatan miliknya.

Perlahan kelopak matanya terbuka, kedua bola mata yang sirna itu terkena sinar matahari yang mulai kembali ke peraduaannya.

Kedua ujung bibirnya terangkat, ia tersenyum singkat pada sang surya. Senja adalah sesuatu yang ditunggunya sepanjang hari. Obat di kala bosan dan sepi selain sebatang racun yang kini ia anggurkan di atas meja.

Tak lama senyumnya memudar bersamaan dengan kembalinya matahari. Kepalanya tertunduk, hidungnya menghisap kuat-kuat aroma asap rokok miliknya.

Di saat orang membenci asap rokok, di situlah ia menganggap orang-orang itu munafik. Asap rokok memang beracun, tapi laki-laki itu sama sekali tak peduli.

Laki-laki itu bernama Angkasa Biru Bagaskara. Seseorang yang sudah tidak peduli lagi dengan apa pun. Bahkan, tubuhnya sendiri.

Ia hanya pasrah dengan apa yang Tuhan beri padanya, salah satunya cobaan. Cobaan yang datang bertubi-tubi semenjak satu bulan yang lalu membuatnya tahu arti dari kehidupan.

"Angkasa," ucap seseorang dengan nada lembut yang secara langsung membuyarkan lamunan Angkasa.

Angkasa menoleh saat itu juga pancaran iris mata hitam legam perempuan itu menusuk matanya. Dengan sigap Angkasa mengalihkan pandangan.

Bukan hanya matanya yang perih, namun juga hati bagian terdalamnya yang ikut merasakan. Alhasil kedua kakinya memutuskan untuk cepat pergi dari sini.

"Izinin gue pergi," lagi, perempuan manis itu lagi-lagi berucap. Menggagalkan niat Angkasa untuk pulang.

Mulut Angkasa terkunci rapat, sesuatu mencekat tenggorokannya. Matanya mengedar menatap langit yang menggelap.

"Gue yang pamit, maaf dan terima kasih," ucap perempuan berambut sepinggang itu untuk yang terakhir kalinya sebelum dirinya benar-benar pergi dari pandangan Angkasa.

Angkasa masih di posisinya, kepalanya mendongak. Laki-laki itu memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh hanya karena satu perempuan atas nama cinta.

Kedua tangannya mengepal keras, sangat keras sampai kuku-kuku jarinya memutih. Sampai akhirnya ia meringis kecil dengan apa yang ia lakukan sendiri.

Kakinya melangkah, meninggalkan Rooftoop sekolah. Angkasa memakai jaketnya. Sadar, waktunya untuk pulang. Pulang ke rumah yang sebenarnya tak pantas disebut dengan sebutan itu.

Rumah bagi Angkasa adalah tempat angker. Bukan karena tempatnya yang dihuni puluhan makhluk tak kasat mata, tapi rasa yang timbul ketika masuk memang menakutkan.

Takut terkena bentakan dan pukulan yang salah sasaran. Rasa takut itu berubah menjadi rasa benci. Pada siapa pun yang berada dalam ruangan besar nan luas itu.

Angkasa menoleh sekilas ke kelasnya. Mending gue tetep di sini, daripada harus ketemu mereka, batinnya. Laki-laki itu membulatkan tekad untuk menginap di kelasnya, X IPS 1.

Kelas ber-AC dengan kuota maksimal 35 orang. Tapi di kelas Angkasa hanya berjumlah 34 orang saja karena 1 orang tidak ada kabar dari awal MPLS.

Hiks...

Laki-laki itu mengerjap. Pikirannya hanyut mempertanyakan siapa suara tangisan perempuan itu. Tidak, bukan hantu, itu memang benar perempuan yang sedang duduk di pojok kanan kelas.

Hiks...

"Alan," sapa Angkasa seraya berlutut menyamai tinggi perempuan itu saat ini. "Jangan nangis," lanjutnya.

Perempuan bernama Alana itu mendongak, matanya sembab, air mata masih mengalir deras membasahi pipinya yang putih bersih.

"Angkasa," ucap Alan dengan suaranya yang parau. "Jangan pergi," pinta perempuan itu.

Angkasa mengangguk, laki-laki itu bangkit dan mengulurkan tangan kanannya. "Lo yang pergi, gue mau tetep di sini."

"Lo gak pulang?" tanya Alana seraya bangkit dan tak menghiraukan uluran tangan Angkasa.

Angkasa hanya menjawab dengan gelengan kepala. Lalu mengibaskan tangannya ke udara, kode keras supaya Alana segera pulang.

"Jangan karena orangtua Lo yang hancur, jiwa Lo ikutan hancur, Ang," ucap Alana.

"Gue bilang pergi, pergi!" sewot Angkasa karena Alana yang sok tahu dan tidak menuruti perintahnya.

Alana terdiam mendapat sentakan dari Angkasa. Sementara Angkasa mendengus kesal dengan respon si otak Einstein, Alana.

"Pergi!" lanjut Angkasa.

"Gak mau, Ang!" sahut Alana.

Hening.

Plakk

Alana meringis memegangi pipinya yang memanas. Angkasa terlihat sedang menenagkan dirinya dengan cara menyandar pada dinding.

"Apa maksudnya Lo nampar gue, Ang?" tanya Alana, mata perempuan itu kembali mengeluarkan cairan bening.

"Maaf," lirih Angkasa. Gue gak mau kita ada rasa, lanjut Angkasa membatin.

Pengecut! Laki-laki itu melenggang begitu saja keluar kelas meninggalkan Alana yang masih memegangi pipinya.Tak ada pilihan lain, Angkasa memutuskan untuk pulang.

"Angkasa!"

"Jangan pulang!"

"Mereka masih berantem!"

Angkasa menoleh mendengar perintah demi perintah seseorang dari arah belakang. Langkahnya melambat, turun drastis nyalinya.

"Sampai kapan?" lirih Angkasa.

Tidak ada yang menjawab, orang itu mengunci mulutnya merasakan sakit yang sama karena orang itu adalah..

Alana, adik kandung Angkasa.



Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang