Bab 18

506 31 6
                                    

Lima belas menit berlalu sejak bel pulang menggentarkan antero sekolah. Alana hanya bisa menunggu dan menunggu, sampai Galaksi datang. Sejak tadi tak terlihat tanda-tanda kemunculan lelaki itu, tapi Alana bersikeras untuk tetap menunggu. Karena, jika menelpon Bang Arland menurutnya merepotkan.

Ia mengembuskan napas pelan, merogoh sesuatu dalam kantong  seragamnya. Benda berbentuk pipih, Alana segera menyapu ponselnya tersebut.

Alana :
P

Statusnya online, tapi ... ah sudahlah, mungkin Galaksi sibuk dan tak bisa membalas chat-nya. Waktu yang tertera sudah menunjukkan pukul 16.15 WIB, Alana memutuskan untuk menunggu 15 menit ke depan. Kalau masih belum datang juga, ia akan naik angkot seperti biasanya.

Sembari itu, Alana hanya memperhatikan beberapa anak yang tengah eskul futsal di lapangan. Ia teringat Angkasa, kakaknya itu jagonya main futsal. Sering memenangkan pertandingan-pertandingan, baik membawa nama sekolah maupun nama sendiri di luaran sana.

Sial, teringat sedikit saja membuat mata perih. Dasar Alana, cengeng sakali. "Angkasa, semoga lo baik-baik aja ya di sana," lirih Alana sambil menyeka kasar air matanya yang mulai berjatuhan.

Alana bangkit, malu karena banyak anak-anak futsal yang menyadari dirinya menangis. Ia berlari menuju toilet bawah yang berada dekat kantin sekolah. Namun, langkah gadis itu berhenti tiba-tiba. Tepat beberapa meter dari kakinya berpijak, ada pemandangan yang begitu menakjubkan.

Sampai-sampai, Alana bertepuk tangan untuk mengapresiasi dua orang yang tengah suap-suapan itu. Sontak saja, Galaksi dan satu perempuan yang tak tahu siapa menoleh secara serempak ke arah Alana. Saat tatapan Galaksi tertuju padanya, Alana dengan cepat mengalihkan pandangan.

Tunggu ... apa hak Alana marah? Bahkan, Galaksi dan dirinya hanya sebatas teman. Tak ada hubungan lebih selain itu.

Dalam toilet, Alana menangis sepuasnya. Menumpahkan segala hal yang menyesakkan dada sekaligus memerihkan mata, bebas. Tak ada yang bisa menyaksikan hal menyedihkan ini. Ia mengunci pintu rapat-rapat tanpa celah sedikit pun.

"AL! Alana, gue bisa jelasin. Tolong, buka!" Suara berat disertai gedoran pintu tak membuat Alana berniat membukakan. Ia sudah kecewa, benar-benar kecewa. Bukan pada Galaksi tapi pada dirinya sendiri yang tak berhasil menjaga perasaan.

Gedoran-gedoran semakin kencang, begitu pun isakan Alana. Sama-sama berpadu, menciptakan suara yang menyesakkan keduanya. Galaksi bukan bermaksud menyakiti gadis itu, ada sesuatu yang penting dan lebih baik untuk diprioritaskan. Ini menyangkut permintaan terakhir seseorang. Perempuan cantik yang masih terduduk manis di bangku sana.

"Al, buka atau gue pergi?!" bentak Galaksi, frustasi.

Isakan Alana terhenti, ia berpikir beberapa detik. Jika Galaksi sudah berkata, bukan suatu pertanyaan yang tak memberi risiko apa-apa. Intinya, apapun yang dikatakan Galaksi, benar-benar akan dilakukan oleh lekaki itu.

Alhasil, Alana membuka pintu. Keluar dengan memunduk dan tertutupi poni. Alana tak mau Galaksi melihat kondisinya yang kacau seperti ini, memalukan. Selain kecewa, Alana juga benci dirinya sendiri. Dirinya yang tak menemukan setitik pun cahaya kebahagiaan, hidup penuh pilu atas nama keluarga dan cinta.

Galaksi meraih pergelangan tangan Alana, menuntunnya untuk keluar dan membicarakan semuanya pelan-pelan. Alana diam tak berkutik saat Galaksi membawanya ke perempuan itu, bahkan menyuruhnya duduk bersebelahan.

Sebelum menjelaskan, Galaksi mengembuskan napas kasar. Mengusap lembut tangan perempuan iti dan Alana secara bersamaan menggunakan dua tangannya. Perempuan tak berseragam sekolah itu tersenyum simpul, lain halnya dengan Alana yang terbengong-bengong.

"Dia teman kecil gue, namanya Cherli." Disebut namanya, Chelri mengulurkan tangan ke arah Alana.

Alana terdiam sejenak, berat sekali untuk berjabat tangan. Namun, bisa. Alana merekahkan senyum tipisnya dan memperkenalkan diri secara singkat, "Alana Ratu Putri."

Galaksi lega menyaksikan itu. Lalu, mengangkat lagi suaranya. Berkata dengan nada sendu dan pelan, "Dia mau pindah ke Australia, oma mau ngurus dia. Dan tadi permintaan terakhirnya, disuapin gue."

Cherli menunduk sambil terisak. Alana hanya bisa bungkam merasa bersalah, sedangkan Galaksi segera mengeluarkan suara.

"Cherli jangan nangis, Cherli enggak boleh ingat kejadian itu lagi, ya sayang." Galaksi menggenggam dua tangan Cherli dengan kuat, tampak melupakan keberadaan Alana.

Cherli mendongak dan kembali merekahkan senyuman lebarnya. Menangis lalu tersenyum, bukan seperti Alana yang tersenyum, lalu diam-diam menangis.

Andai kata-kata itu buat gue, pas banget motivasi gue buat lupain Bang Angkasa. Alana hanya mampu membatin, tak seberani itu ia melontarkan suara hatinya.

Merasa sudah tak ada yang perlu didengar lagi, Alana bangkit. Ingin segera pulang dan mengurung diri di kamar. Pengin menangis lagi, karena baginya menangis adalah hobi. Kebiasaan yang bisa dikatakan buruk, tapi di lain sisi juga baik bagi kesehatan fisik maupun mental. Setelah menangis, kekuatan Alana bertambah.

"Maaf gak bisa nganter lo!" teriak Galaksi.

Alana tak menggubris, ia berlari sepanjang koridor. Mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melarikan diri. Melarikan dari dari kenyataan bahwa hidupnya akan terus menyedihkan.

Sampai akhirnya Alana menemukan gerbang. Gerbang untuk pulang. Ia kembali berlari, dan langsung naik ke angkot yang kebetulan berhenti tepat di hadapannya. Membatalkan keinginannya untuk ke rumah, Alana memilih menemui Putri. Sudah lama tak ke sana, pikirnya. Ia ingin curhat dulu pada Putri, seseorang yang mampu memahami penderitaannya selama ini.

Cukup jauh dan memakan waktu lama, tapi Alana bersabar. Tak peduli hari semakin larut, bahkan mentari pun sebentar lagi akan kembali ke peraduannya.

"Bang, terminal!" ucap Alana. Kemudian turun dan menyerahkan uangnya.

Mata binar Alana lenyap seketika, begitu mendapati warung Putri tutup. Ia berjalan mendekati segerombolan supir yang tengah bercengkerama.

"Permisi, Pak. Apa bapak ada yang tahu pemilik warung ini ke mana? Mbak Putri namanya."

"Ooh itu, Neng. Si Putri mau pindah ke luar negeri."

Alana membulatkan mata tak percaya dan spontan bertanya, "Luar negeri mana, Pak?"

"Australia."

Sebelum pergi, Alana berterima kasih lebih dulu.

Ia yakin ada kaitannya dengan Cherli, tidak mungkin kebetulan seperti ini. Lantas, Alana segera menaiki angkot yang berbalik arah. Mengucap syukur sebentar karena angkotnya lumayan penuh, jadi tak mungkin mengetem lama di setiap pengkolan.

"Bang, depan kiri!" Alana turun terburu-buru, memberi uang sepuluh ribuannya. Meninggalkan kembalian lima ribu rupiah. Tak menghiraukan panggilan si supir, ia tetap berjalan menuju sekolah.

Harapan Alana satu, semoga masih ada. Nihil, Alana menyandarkan tubuhnya pasrah pada dinding. Kemarin Angkasa, lalu sekarang Putri. Apa semesta sekejam itu? Ingin melihat Alana sendiri dalam sepi ditinggal orang-orang yang ia sayang.

"Arghhhh....!!!" Alana menjambaki rambutnya, menjedotkan kepalanya ke dinding. Terkadang Alana harus melakukan itu sebagai pengganti tangisnya.

Untuk hari ini, dunia Alana kembali berduka.













Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang