Bab 10

693 41 34
                                    

Angkasa membasahi tenggorokkannya yang terasa kering dengan segelas air mineral dari galon. Pagi-pagi buta seperti ini ia sudah terbangun dalam keadaan haus. Mungkin mimpi dikejar-kejar anjing.

Laki-laki itu mengedarkan pandangannya pada Alana yang masih terlelap di atas ranjang seorang diri. Sementara itu ada pula Arland yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai, tanpa alas apa pun.

Semua karena mereka, bangsat! Batin Angkasa geram. Ada rasa kasihan melihat saudara-saudaranya seperti itu. Terutama Alana, gadis yang kehidupannya berbalik drastis setelah kedua orangtua mereka hancur.

Angkasa beranjak, ia ingin bangkit dari keterpurukan. Ia memutuskan untuk bekerja di hari Rabu yang kelabu ini. Percuma sekolah untuk mendapatkan selembar ijazah jika kehidupannya yang sekarang pun tak tercukupi.

Tak ada kendaraan yang bisa Angkasa tumpangi, terakhir ia dikabari Arland telah menjual motornya demi membayar kos. Sungguh memprihatinkan. Mana janji Bimo? Mana?! Yang katanya akan mentransfer uang untuk mereka bertiga. MANA?!

Terus saja berjalan, itulah yang Angkasa lakukan. Tangannya terangkat, menyetop angkutan umum jurusan terminal yang lewat di hadapannya. Ya, Angkasa pikir lebih baik mencari uang daripada mencari ilmu di kondisinya sekarang. Itu pun bukan demi dirinya sendiri, tapi demi Alana dan Arland.

Hanya selembar uang sepuluh ribu saja yang ada di kantung levis Angkasa kenakan. Ia sengaja meninggalkan ponselnya sebagai peninggalan satu-satunya di kost. Sekaligus tanda bahwa dirinya akan pulang.

Kepala Angkasa menyembul di kaca angkot yang terbuka lebar. Mengibarkan poni rambutnya yang tak terurus. Angin di pagi buta memang menyejukkan, tak terkecuali di kota metropolitan seperti ini. Sama saja.

Setelah sampai di terminal, Angkasa turun. Memberikan uangnya dan langsung mendapat kembalian sebesar lima ribu rupiah. Cukup untuk jaga-jaga di sepanjang hari ini, jika saja perutnya bisa diajak kompromi.

Puluhan kendaraan terparkir rapi di hadapannya, mata Angkasa mengedar ternyata ini kehidupan asli seorang supir. Tidur berbarengan di bangku halte tak mempedulikan apa lagi selain mencari nafkah ketika fajar terbit. Jakarta keras, bos.

Kaki Angkasa melangkah ke salah satu halte yang dipangkali penjual minuman keliling. Seorang remaja  dengan bayi kecil di gendongannya menggunakan kain compang-camping. Wanita itu menguap, sebuah tanda bahwa kemungkinan besar ia mengantuk. Bahkan mungkin saja tidak tidur sejak mentari kembali keperaduannya.

"Permisi," Angkasa menjatuhkan bokongnya di samping gadis itu dan mendapat respon tolehan kepala darinya.

"Biasanya kerjaan apa ya di sini selain jualan?" tanya Angkasa. Gadis itu menautkan sebelah alisnya lalu menggeser letak duduknya menjauh dari Angkasa.

Kini bergantian Angkasa yang menautkan alisnya, bingung dengan respon penjual minuman keliling itu padanya. Apa ada yang salah dengan pertanyaannya?

"Kenapa ya?" tanya Angkasa lagi.

"Tolong....!!!" Tiba-tiba saja suara kencang keluar dari mulut gadis beranak satu itu. Angkasa sontak saja kaget, apa salahnya? Dirinya tak melakukan sesuatu apa pun selain bertanya, apa ia gila?

Tanpa menunggu waktu lama, para supir yang tadinya tertidur lelap, membuka matanya secara serempak. Mereka saling tatap selama beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri Angkasa dan gadis itu. Bahkan, penyapu jalanan pun ikut datang dengan tergopoh-gopoh.

"Kamu apain dia?!" sentak salah seorang supir yang lebih dulu sampai. Yang lainnya mendengarkan dengan wajah tidak baik.

Gadis berbola mata hitam legam itu menundukkan kepalanya. Tak berani menatap puluhan pasang mata yang tengah menyorot dirinya dan juga Angkasa. Sementara itu Angkasa justru memabalas dengan tatapan tak tahu menahunya.

"Saya gak apa-apain dia, sumpah!" bela Angkasa seraya mengacungkan dua jarinya ke udara.

Para supir dan seorang sapu jalanan menolehkan kepalanya serempak pada gadis di samping Angkasa. Gadis itu mendongak, air mata mengalir di pipinya yang mulus. Sedetik kemudian ia mengangguk tanda bahwa yang diucapkan Angkasa benar.

Setelah mendapat kepastian tidak ada kasus, mereka bubar. Meninggalkan Angkasa dan gadis aneh itu berdua. Ralat, bertiga dengan bayi kecil yang masih tertidur nyenyak. Untung saja, Angkasa tak langsung di amuk masa. Dan kejadian ini tak sampai membangunkan bayi kecilnya.

"Maaf," lirih gadis berbola mata hitam legam yang menatap penuh Angkasa secara terang-terangan.

Angkasa menelan salivanya, lalu menggeleng. "Lo.... bukan! Lo bukan Putri kan?!" Spontan saja Angkasa terkejut bukan main, saat diteliti gadis itu mirip mantannya.

Hiks

Gadis itu menangis dan bangkit. Menimang-nimang bayinya yang mulai terganggu dengan ucapan tinggi Angkasa tadi. Bahkan mulai menangis meronta-ronta menarik paksa tak sengaja kalung yang melilit leher ibunya.

"Diam!!!" bentak gadis itu nampak emosi bercampur kesal. Lalu diciumnya bayi kecilnya yang makin menjadi tangisnya. Tak seharusnya seorang ibu membentak bayi tak bersalah karena hal sepele yaitu menangis. Yang harusnya dimarahi adalah Angkasa.

Angkasa hanya bisa diam menyaksikan perlakuan gadis yang ia yakini seratus 99,9% adalah mantannya, Putri. Cinta pertamanya, sekaligus pengkhianat baginya. Kala itu, kurang lebih satu setengah bulan yang lalu.

APA YANG TERJADI SEBENARNYA?

"Jangan bilang.... itu anak Lo, apa iya Putri?!" Angkasa bangkit dengan gerakan cepat dan langsung berdiri tepat di samping Putri. Mengguncang bahu gadis lusuh itu berulang kali dengan air mata berucuran.

Tangis bayi Putri menang telak mengalahkan tangis ibunya dan Angkasa. Semua hanyut dalam tangis, kala fajar mulai terbit di ufuk timur. Langit sudah mencerah, namun ketiga manusia di halte tersebut masih menangis. Tak peduli tatapan penuh tanda tanya dari para supir tadi.

"Ini alasan gue, Ang! Alasan gue ninggalin Lo! Karena ada bayi ini!" jelas Putri.

Angkasa tertegun dengan semua ini. Lututnya melemas, namun masih dapat menopang tubuhnya sendiri. Putri menggenggam sebelah tangan Angkasa dengan erat, sebelahnya lagi untuk mengelus lembut bayinya agar tidur kembali.

"Maaf," lirih Putri lagi. Tak ada gunanya permintaan maaf gadis itu, nafsu Putri telah menghancurkan semuanya. Hubungan yang sudah terjalin 3 tahun, dapat runtuh manakala salah satu berkhianat.

"Maaf gue pamit," tegas Angkasa seraya melepas genggaman Putri. Ditatapnya Putri penuh kilatan api, pancaran amarah yang tak dapat ia deskripsikan dengan kata-kata.

Setelah mengucapkan kalimat pamitan, Angkasa berbalik. Bayi itu bukan tanggungjawabnya. Tapi, tak tega juga meninggalkan Putri sendirian menjalani kehidupannya di sini. Bagaimanapun juga, Putri adalah masa lalunya. Seseorang yang pernah ia sayangi sepenuh hati namun mematahkan pula hatinya.

"Gue mohon jangan pergi!" cegah Putri lalu melangkah menyamai Angkasa. Ia menyodorkan bayinya pada laki-laki itu dan berucap, "Bayi ini minta dicium keningnya."

Angkasa tersenyum kecil dan melakukan apa yang Putri pinta atas nama bayinya. "Namanya siapa?" tanyanya seraya mengelus alis tebal bayi berjenis kelamin laki-laki di gendongannya.

"Raja," jawab Putri singkat, ya, tidak ada nama panjang untuk putra kecilnya. Hanya nama Raja dengan harapan akan menjadi pemimpin di suatu saat nanti, bagi bangsa dan negara.

Angkasa menerawang, "Terlalu singkat untuk dijadikan nama, tapi gue yakin dia akan jadi raja nanti." Jeda, Angkasa memberikan kembali Raja pada ibunya. "Maaf, gue harus pamit sekarang," lanjutnya.

Putri mengiyakan dan mengambil alih Raja. Melekuk bulan sabit oleh bibirnya untuk salam perpisahan. Karma, saat menyia-nyiakan seseorang yang setia. Percayalah, hukum karma itu ada.

Angkasa membalas senyuman Putri dengan senyum lebarnya. Saat Putri pergi dulu, gue move on ke Alana. Tapi Alana adik gue, gue harus move on lagi, batin Angkasa.

Tapi, tak seharusnya Angkasa memikirkan cinta saat ini, karena yang terpenting adalah hidup. Tanpa cinta pun hidup dapat dijalani, tanpa oksigen tuh baru tidak bisa hidup.





















Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang