Bab 23

536 29 0
                                    

Alana sedikit berlari setelah turun dari angkot, dia buru-buru ingin memastikan apakah Angkasa masih ada atau tidak. Pintu tertutup rapat, Alana menghela napas pelan. Menjatuhkan bokongnya sembarang ke lantai, membuka sepatu sekaligus mencari kunci di bawah keset.

Beruntung, kuncinya ada. Namun, naas pemilik rumah tak ada satu pun yang menampakkan batang hidungnya. Dia akhirnya termenung sejenak, berpikir di mana kira-kira mereka semua. Yap, rumah sakit.

Alana memakai sepatunya lagi, bangkit untuk menyusul ke sana. Kondisi papah mulai membaik, sudah bisa bernapas seperti biasanya. Akan tetapi, tadi malam ada kabar bahwa papah harus tetap dirawat untuk memulihkan kondisinya. So, artinya Angkasa tidak akan pergi hari ini.

Yeayy!!!

Bodoh Alana tak berpikir sejauh itu. Yang ada dalam benaknya adalah pergi, luka, dan keluarga. Tiga hal yang kerap mengganggu konsentrasi belajar Alana di sekolah. Dan masing-masing punya nama; pergi untuk Angkasa, Galaksi, dan Putri. Luka untuk hati, yang terakhir keluarga untuk bunda dan papah.

"Bang!" Alana melambaikan tangan kanan ke udara, menyetop angkutan umum yang berada di sebrangnya. Tidak tahu jika ada motor yang melaju kencang, semuanya tiba-tiba gelap.

***

Derai air mata menghiasi ruangan salah satu rumah sakit yang ada di Ibu kota. Memecah keheningan yang tercipta, karena mereka tak ada satu pun yang mengangkat suara. Seolah membisu adalah pilihan paling baik, daripada berbicara untuk saling menyalahkan.

Tak ada gunanya, mereka sudah dewasa. Saling menyalahkan diri sendiri itu kedewasaan yang sesungguhnya. Apalagi Sarah, ibu dari si korban ini. Sama sekali tak berkutik mendapati putri bungsunya koma sejak dua jam yang lalu.

Sementara itu, di sebrang bangkar ada sofa yang hanya cukup untuk dua orang. Pas, dua orang itu adalah Angkasa dan Arland. Kakak dari korban yang tak lain tak bukan yaitu Alana.

Angkasa sesegukkan sambil memutar tutup botol air mineral yang tersisa setengah di genggamannya. Meneguk dan menutupnya kembali, sudah dilakukan berulang kali. Namun, tetap saja tak bisa menenangkan tangisnya.

"Kalau lo gak dateng ke Jakarta, semua gak akan gini." Tiba-tiba saja Arland bangkit, berbicara dengan tegas sebagimana argumennya yang paling benar. Hal yang tidak diinginkan akhirnya terjadi, Sarah kekurangan energi untuk merelai anak-anaknya itu.

Angkasa terbawa emosi, menarik kerah baju Arland sampai sedagu. "Apa lo bilang, coba ulang?!" Bernada tinggi, tak lupa memberi pelototan gratis pada Arland yang sekenanya berbicara seperti itu.

"LO LENYAP SIH DARI MUKA BUMI INI! HIDUP LO CUMA BIKIN ORANG HANCUR, NAMBAH MASALAH!" Tak kalah, Arland mengeluarkan semua kemampuan bicaranya. Menggema ke seluruh ruangan, makin membuat pusing Sarah yang kini mulai bertindak.

Sarah menyeret dua anaknya tersebut dan membawanya keluar, mereka tak berontak. Sampai di luar, Angkasa yang tidak terima dengan ucapan Arland beberapa detik yang lalu, lantas kembali berucap.

"UMUR LO TAMBAH GEDE, TAPI OTAK LO GAK BERKEMBANG SEDIKIT PUN!" Hening sejenak, Angkasa mengatur napas yang memburu dan detak jantung tak karuan. Meski pun suhu di koridor rumah sakit cukup rendah, malah membuatnya berkeringat saking emosi.

Dalam kondisi yang sedang panas-panasnya, seorang suster yang kebetulan lewat menghampiri mereka. Mengisyaratkan untuk tidak membuat keributan, toh ini rumah sakit umum bukan rumah sakit jiwa. Yang setiap hari dipenuhi raungan-raungan tak jelas dari pesien.

Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang