Bab 16

523 32 9
                                    

Hari-hari Alana jalani dengan senang hati, apalagi ia merasa aman di samping Galaksi. Cowok berperawakan tinggi yang tampan, tapi sayang nakal. Namun, kenakalan Galaksi justru membuat Alana percaya bahwa lelaki itu bisa melindungi dirinya di mana ia tengah berada fase mengikhlaskan.

Ya, titik terakhir adalah ikhlas. Menerima segala apapun yang sudah terjadi, karena tak ada gunanya menangisi itu semua. Malah, akan terus mendekam pada fase depresi yang menyuguhkan banyak risiko. Alana berusaha keluar dan menggapai titik terakhir, dibantu oleh Galaksi.

"Al, lo udah sarapan?" tanya Galaksi sambil menoleh pada Alana yang sedari tadi bersenandung kecil sepanjang koridor. Tak mendapat jawaban, lantas Galaksi mencabut sebelah earphone Alana dan menyumpal ke telinganya.

Menikmati lagu yang Alana putar, walaupun bukan sama sekali jenis musik lelaki itu.

Just to be with you
And fix what I've broken
Oh, 'cause I need you to see
That you are the reason

Mereka bernanyi bersama di tengah koridor, membawakan lagu yang diciptakan oleh Calum Scott. Lagu yang sudah mendunia, salah satu lagu kesukaan Alana. Namun, di samping Galaksi, Alana terdiam sejenak.

Tak melanjutkan nyanyinya, bahkan menghentikan lagu dari ponsel di tangannya. Gadis itu menatap lekat Galaksi, yang ditatap hanya bisa mengernyitkan dahi bingung. Alana telah jatuh, secepat itu. Ia menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan hatinya sendiri.

"Kenapa?" tanya Galaksi sambil melepaskan earphone Alana yang masih menyangkut. Dipikir, Alana marah karena diganggu saat mendegarkan musik. Perempuan, kan susah ditebak.

"Gak pa-pa." Alana menunduk malu, tak bisa menutupi perasaannya sendiri. Ia melanjutkan langkah yang sempat terhenti, berjalan lebih cepat daritadi.

Alana harap, Galaksi tak mengejarnya. Harapan yang musnah dalam sekejap, karena dengan satu gerakan cepat Galaksi mencekal pergelangan tangannya. Hingga gadis itu terdiam, merasakan detak jantungnya yang berdebar tak karuan.

"Gue gak suka ya, lo ninggalin gue begitu aja!" Tanpa diduga, Galaksi membentak dan melempar tatapan tajam ke arah Alana. Seolah mengungkapkan bahwa Alana adalah hak miliknya. Ya, masuk. Alana terperangkap dalam jebakan posesifnya seorang Galaksi Andromeda.

"I--iya, maaf." Alana berbicara dengan nada takut, bibirnya pun ikut bergetar saat berucap.

Galaksi yang mendengar, mulai menyadari kesalahannya. Lelaki itu menyentuh lembut puncak kepala Alana, menatap nanar gadis itu. "Maaf ya, ini sifat asli gue." Bergantian, Galaksi yang meminta maaf.

Alana mengagguk, lalu kembali melangkah. Sudah banyak anak yang datang, tadi juga ada beberapa anak menyaksikan bagian dramatis mereka berdua. Layaknya di film-film, keduanya menjadi tokoh utama. Ah, Alana ingin lenyap saja rasanya karena tak bisa menahan malu.

"Eh tunggu, lo udah sarapan belum?" tanya Galaksi, berusaha menyamai langkah Alana yang cepat. Berjarak sejauh dua anak tangga, Alana terlihat buru-buru.

"Be--udah," sahut Alana, diiringi menghela napas. Merutuki mulutnya sendiri yang tidak bisa diajak kompromi.

Galaksi dibuat terkekeh beberapa detik, sebelum menarik lengan Alana menuju kantin. Lagi pula, bel masing terbilang cukup lama. Sekitar 15 menit lagi, lama bukan? Toh sarapan itu penting, baik untuk tubuh.

Kalau diperhatiin begini terus setiap harinya, tak mungkin Alana tidak terbawa perasaan. Meskipun sebatas barang penitipan dari Angkasa, tapi Alana juga memilki hati yang sensitif. Ditanya sudah sarapan belum, malah otaknya ke mana-mana. Memikirkan nama anak, contohnya.

Dasar aku, rutuk batinnya.

Namun, bagaimana pun juga Alana akan terus patuh terhadap perkataan Galaksi. Karena sama saja halnya menuruti permintaan Angkasa di sana, lelaki yang tak bisa dijangkaunya saat ini. Ah, kan jadi teringat Angkasa. Alana sedih.

Ikhlas, suara hati Alana penuh penekanan.

Ia menjatuhkan bokongnya di salah satu meja, menunggu Galaksi yang tengah memesan nasi goreng di salah satu kedai. Galaksi kembali dengan tangan kosong, "Lagi digoreng, belum ada yang matang." Lalu duduk di hadapan Alana yang melamun.

Galaksi lantas mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Alana, sontak gadis itu tersentak. "Kenapa, ada masalah lagi?" tanya Galaksi, lagi dan lagi, memang selalu dengan tatapan sayu.

Yang ditanya menggeleng dan memperlihatkan senyumnya, seolah semua baik-baik saja. Namun, ia tak pandai bersandiwara. Galaksi dengan mudah menangkap bahwasanya Alana tengah memikirkan sesuatu.

"Angkasa?" Pertanyaan yang tak memelesat sedikit pun, Alana pun mengiyakan.

Yakin, Galaksi akan memberinya motivasi. Benar kan, bibir lelaki itu langsung menyuarakan kata-kata. "Gue percaya, lo bisa." Sebuah kalimat  yang mampu mengguncang hati Alana. Ia tak ambil respons, malah menunggu Galaksi mengangkat suaranya lagi.

"Ada gue, siap sedia jadi sandaran buat lo." Kalimat ini ... ah, Alana semakin dalam terperosok.

Pesanan datang, penjual kantin menggangu keduanya yang tengah saling tatap. Namun, Alana bersyukur dan menghela napas lega. "Hmm ... gue makan, ya." Alana merapalkan doa, lalu mulai melahap nasi goreng buatan si mbak yang masih sedikit panas.

"Masih panas, malah melepuh nanti lidah lo," ucap Galaksi sambil memberi segelas air mineral yang disajikan. Alana meminum dengan cepat, lidahnya mati rasa. Bukan karena kelaparan, tapi menyadari bel sebentar lagi akan berbunyi. Mengharuskannya cepat-cepat makan.

Galaksi geleng-geleng kepala atas tingkah adik mantan musuhnya, ternyata lucu juga. Menggemaskan. Satu kata yang terlintas dalam benak Galaksi setelah beberapa hari mengenal Alana.

Kringgg

"Tuh kan, bel!" seru Alana.

Galaksi berdecak mendapati Alana yang tampak gelisah, "Gue udah berpengalaman, paling masih banyak yang di jalan." Menenangkan dengan kata-kata, Alana tak cukup percaya. Ia menghentikan makan dan menyerbu air mineral yang sempat diminumnya tadi.

"Gue naik duluan, ya!" Alana bangkit, jelas Galaksi segera mengaggalkan niatnya.

"Bareng, tunggu gue!" sahut Galaksi dan mengempaskan Alana ke kursi, kasar. Sifat aslinya akan keluar kalau Alana mencari gara-gara.

Pasrah, Alana menumpu dagunya dan memandangi lelaki di hadapannya. Benar-benar seluruh sifat Angkasa menyatu dalam tubuh Galaksi, tak ada celah yang membedakan. Akan tetapi, pernah Angkasa bercerita. Dulu sekali, saat Galaksi masih menjadi musuh bebuyutan kakaknya tersebut.

Kata Angkasa, Galaksi pengkhianat. Satu keburukan yang belum Alana temukan, semoga saja tidak terbukti kebenarannya. Sementara itu, di lain sisi Galaksi yang merasa diperhatikan menciduk melalui kedipan jailnya. Godaan, Alana mengelus dada dan beristigfar.

"Jangan kelamaan nanti suka lagi," celetuk Galaksi, si percaya diri yang melampaui batas.

"Pede buluk lo!" sahut Alana, pura-pura melempar tatapan jengkelnya. Si munafik yang tertutup di balik perkataan.

Entah bagaimana jadinya kisah mereka, semoga saja tidak sampai membuat Alana meneteskan air mata. Karena, Alana punya hak untuk bahagia. Cepat atau lambat, keterpurukannya akan berakhir. Bak hujan deras penuh petir yang pada akhirnya menciptakan pelangi indah penuh warna.










Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang