Bab 20

504 35 7
                                    

"Jadi, siapa yang tidak mengerjakan PR?!" Bu Nahlia bangkit seraya menggebrak meja, mengheningkan kelas dalam waktu sekejap. Mata minus guru yang nyaris pensiun itu mengedar, mengintimidasi satu per satu murid yang tak menundukkan kepala. Para murid antimainstream, salah satunya adalah Alana.

Saat tepat mata mereka bertemu, Alana cepat-cepat mengalihkan pandang. Jujur, baru ditatap seperti itu saja sudah membuat sesak napas. Alana kan belum selesai merangkumnya, dengan kata lain belum tuntas di mata Bu Nahlia.

"Kamu tidak mengerjakan PR, Alana?" Bu Nahlia bertanya dengan intonasi meninggi, mendapati anak didiknya terlihat salah tingkah. Gelagat mencurigakan, santapan makan siang.

Sebisa mungkin Alana menganggukkan kepala dan melirih, "Iya, Bu." Sontak anak-anak sekelas langsung mendecak kesal, tak ada yang peduli pada gadis malang itu. Menjalani kehidupan gelapnya tanpa dampingan seorang kepala rumah tangga dan kakak yang menghiburnya kala terluka. Itu Alana, si gadis malang.

Kemalangannya bertambah saat rasa malas datang tadi malam, hingga akhirnya Alana harus ikhlas mendapat hukuman apapun yang akan Bu Nahlia berikan siang ini. Sekalipun itu disuruh berdiri dengan satu kaki terangkat selama dua jam, atau bahkan dikeluarkan sekalian dari kelas.

"Enggak kakaknya, enggak adiknya, hobi banget bikin masalah. Sana cepat kerjakan di luar!" Bu Nahlia menunjuk pintu, Alana menghela napas pasrah.

Koridor amat sepi, mungkin tak ada kelas yang mendapat jatah free. Guru-guru di sini memang rajin-rajin, kalaupun tidak masuk masih sempat meminta mengerjakan soal latihan atau menyuruh anak-anaknya belajar secara otodidak. Tak ayal sekolah ini menciptakan bibit-bibit unggul yang mampu bersaing di dunia pendidikan setaranya.

Alana tersenyum getir, tak ada lagi yang memuja kepintarannya sekarang. Malah, mereka mencela dengan beragam bacotan baik langsung maupun tidak langsung. Tentu saja, ketika Alana tidak sedang didampingi Galaksi.

"Ooh iya, Galaksi mana ya? Udah dua hari gak ketemu." Dinding pun bisu, saat Alana bertanya seperti yang disebutkan tadi. Selepas kejadian di kantin, Alana tak melihat batang hidung Galaksi lagi. Atau jangan-jangan ... ada kemungkinan Galaksi ikut pindah? Jika itu terjadi, Alana benar-benar ingin mati saja.

Derap langkah sepatu, membuat Alana terkesiap. Menolehkan pandangan ke sumber suara, akhirnya sampai pada titik temu. Tak ada yang berusara, tapi keduanya saling tatap. Itu sepasang mata yang Alana rindukan, entah ilusi atau tidaknya yang jelas Alana tak bisa menahan haru.

***

Arland tak bisa menutupi keterkejutannya akan kedatangan mereka. Sampai-sampai tercengang cukup lama dalam keadaan mulut terbuka lebar. Memalukan, tapi itu refleks tanpa Arland sadari.

Begitu si pria paruh baya mengulurkan tangan ke udara mengajak bertos ria, baru lah Arland menghentikan rasa kagetnya itu. Arland langsung berhambur ke pelukan Bimo, reaksi yang jauh berbeda dengan dua wanita cantik itu lakukan.

Sarah dan Ranti hanya saling tatap tanpa arti, tidak ada yang bisa mengalah untuk meminta maaf. Bagi Sarah, walaupun dirinya salah tetap Ranti yang paling bersalah di sini. Sedangkan Ranti, berpendapat bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan wajar dan tidak berpengaruh besar jika si istri bisa menjaga suami baik-baik.

"Kalian apa kabar?" tanya Bimo, menatap Arland dan mantan istrinya itu bergantian meminta jawaban atas kondisi mereka setelah kepindahannya ke Bali tersebut.

"Seperti yang Anda lihat," jawab Sarah menekankan setiap kata tak lupa bersikap tak acuh karena kehadiran mereka yang mendadak dan mengagetkan. Buktinya, mereka sama sekali tak dipersilakan masuk dari tadi. Apalagi dibuatkan minuman, tidak mungkin Sarah melakukannya. Tidak akan, berengsek dan pelakor!

Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang