Bab 3

895 68 5
                                    

Angkasa menatap puluhan pengunjung mall yang lalu lalang di hadapannya. Suasana Upnormal sudah mulai ramai, mungkin sebagian orang mengusir kepenatan karena seharian bekerja, sekolah, atau kuliah.

Alana menopang dagunya dan mengerucutkan bibirnya. Lalu mendengus kesal, ia melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya, pukul 5 sore. Sudah kurang lebih satu jam mereka menunggu.

"Udah jam 5, liat senja dulu yuk!" Alana bangkit dari duduknya, ajakan antusiasnya membuat Angkasa sedikit mengerjap.

"Ayo, di sana aja!" Angkasa bangkit seraya menunjuk balkon Upnormal yang beberapa meter darinya berdiri.

Mata Alana berbinar, tepat, senja terlihat jelas di langit Jakarta sore ini. Gradasi warnanya menghipnotis mereka berdua dalam sekejap. Membuat jantung Angkasa berdebar entah kenapa.

"Kok gue deg-degan ya?" heran Angkasa seraya memegangi jantungnya dari luar.

"Hah? Kok bisa?" alis Alana menyatu, sama herannya dan berbalik tanya. "Mana sini," lanjutnya penasaran seraya mengganti posisi tangan Angkasa sebelumnya.

Perempuan itu mengangguk.

"Lo jatuh cinta," tebak Alana.

Angkasa mendecih pelan, cinta? Omong kosong! Tapi, mengapa harus dengan Alana jantungnya seperti itu? Atau mungkin karena senja? Dan kenapa juga baru kali ini? Beribu pertanyaan bergelayut di benak Angkasa.

Alana tak menghiraukan decihan Angkasa, perempuan itu tak mau waktunya terbuang sia-sia dan tidak bisa menyaksikan matahari kembali ke peraduannya.

"Senja, pengobat masalah dalam sekejap," gumam Angkasa, membuat Alana mengangguk mengiyakan.

Tak lama, senja hanya sementara. Langit perlahan menggelap. Kedua insan itu balik ke meja mereka dengan perasaan yang kembali sama, lelah. Lelah dengan masalah kehidupan.

"Mana? Udah setengah enam," Alana mengaduk matcha latte yang dipesannya sudah lama.

"Ck, gue kan udah bilang, jangan dateng!" emosi Angkasa meluap. Merasa dibohongi dengan janjian ketemuan yang disampaikan Arland.

"Yaudah, jangan salahin gue juga kali!" sentak Alana, tak terima dirinya menjadi pelampiasan kekesalan Angkasa walaupun itu sudah biasa sebenarnya.

Tak bisa melihat kondisi, mereka masih saling tatap dengan tajam. Tak ayal banyak yang menonton mereka terutama pengunjung sekitar. Ada yang aneh, geleng-geleng kepala, bahkan ada yang tertawa.

"Sore," suara bariton menghentikan adu pandang Angkasa dan Alana. Keduanya menoleh serempak ke sumber suara.

"Maaf ada kendala," Bimo menjatuhkan bokongnya di sebelah Alana. Sedangkan wanita cantik namun pantas disebut pelakor bernama Ranti mengembangkan senyumnya dan ikut duduk.

Tak ada yang membalas senyuman busuk wanita itu, malahan Angkasa membalas dengan delikan tajam matanya. Alana masih tak percaya apa yang ia lihat, pemandangan yang begitu luar biasa.

"Sekarang, tahan tangisan Lo, Al," bisik Angkasa seraya bangkit karena posisi Alana yang bersebrangan dengannya. Lalu duduk kembali dan memasang wajah datarnya.

Alana mengangguk pelan, ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Nafasnya memburu karena sesak. Tak lupa pula tangannya mencengkram rok abunya. Tapi mimik wajah yang biasa saja menutupi semuanya.

Arland dan Sarah yang masih berdiri kini mulai ambil posisi. Arland memilih duduk di samping Angkasa diikuti Sarah di sampingnya.

Keenamnya hanya bisa saling tatap dan mengunci mulut. Hening namun mencekam. Angkasa berdehem keras membuatnya menjadi sorotan kelima pasang mata lainnya.

Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang