Bab 11

531 35 6
                                    

Satu hari yang melelahkan bagi Angkasa. Ternyata benar perkataan sebagian orang, lebih kejam lagi dunia pekerjaan daripada dunia pendidikan. Benar, mencari selembar uang seribu rupiah pun tak mudah. Harus mengeluarkan tenaga dan keringat, tapi semua Angkasa lakukan.

Demi Alana dan Arland.

Kini ia pulang dengan kulit dekil nan kumal. Hari pertama Angkasa mencari uang, ia kerja sebagai tukang bangunan di salah satu proyek kecil-kecilan di tengah Ibu kota. Pekerjaan membuat cafe dengan modal sedikit, membuat para pekerjanya pun terutama tukang bangunannya mendapat upah yang pas-pasan.

Namun, apa hak Angakasa mengeluh? Tuhan sudah lebih dulu merencanakan. Empat puluh ribu yang Angkasa terima selama sepuluh jam lamanya, beruntung uang makan siang dipisah. Angkasa tiba, kala Alana tengah salat Magrib.

Selagi menunggu Alana salat, Angkasa terdiam di pojok ruangan. Sekedar merehatkan tubuhnya yang pegal-pegal. Tak lama, Alana sampai pada bagian salam. Ia segera menghampiri adiknya itu dengan antusias dan menggenggam pundi-pundi rupiah hasil keringatnya.

"Al, gue udah kerja, dapat uang!" ucap Angkasa antusias.

Alana termenung, menelan ludahnya dengan kasar. Matanya langsung perih dan berkaca-kaca, sedih melihat Angkasa yang seharusnya masih memakan bangku pendidikan justru terjun dalam dunia pekerjaan.

"Lo kenapa gak bilang, Ang? Kan gue sama Bang Arland bisa bantu...." lirih Alana.

Angkasa menggeleng cepat tanda tak perlu. Lalu menyahut dan meraih tangan Alana untuk diletakkan uang, "Justru gue kerja buat kalian." Kalian, adik dan kakak Angkasa.

Tangis Alana menjadi, ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Cukup, Tuhan tidak adil. Ia ingin teriak menyalahkan takdir, tapi apa daya, dirinya siapa?

Ceklek

Arland mematung di ambang pintu, rupanya ia keluar untuk salat berjamaah di masjid. Lelaki tersebut bertambah tampan dengan peci yang menutupi kepalanya, juga sajadah suci yang melingkar di bahu kekarnya.

"Lo dari mana Ang, kita cemas nyariin lo!" bentak Arland sambil mendekat.

Belum sempat Angaksa menjawab, Arland lebih dulu tahu lewat uang-uang yang memenuhi kepalan tangan Alana. Sudah bisa menebak, dan pasti tak lewat sasaran. "Lo nyopet ya?!" Ah, salah rupanya. Malahan Arland berprasangka buruk.

"Fitnah aja lo! Gue kerja jadi kuli bangunan!" Angkasa melengos setelah membantah tudingan Arland, bisa-bisanya membuat kesal di kondisi seperti ini. Tak lupa mendelik tajam ke arah kakaknya itu.

Arland mengerutkan kening, lalu mengulang kembali pendengarannya, "Kerja?" Dengan nada tak percaya.

Alana dengan sigap menjawab, terpancing emosi juga oleh Arland. "IYA, BACOT!" Masih diselingi isakan karena menangisi takdir Tuhan.

Drttt ... drttt ... drttt....

Getaran ponsel berulang-ulang di atas nakas berhasil mengalihkan pandangan mereka bertiga. Alana terkesiap dan bangkit, itu ponsel miliknya. Tertera nama 'Bunda' di layar ponsel berbentuk pipih tersebut.
Ia lantas menekan speaker agar Angkasa dan Arland ikut mendengar.

"Assalamualaikum...."

Terdengar salam lembut yang parau di sebrang sana. Juga helaan napas kasar dari si pemilik suara, Sarah.

"Kalian di mana? Bunda rindu kalian, boleh bunda dengar suara kalian satu-satu?"

Sarah bertanya dengan nada memohon, meluluhkan hati mereka bertiga. Para anak dari rahim perempuan itu, saling tatap satu sama lain.

Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang