Bab 24

529 27 0
                                    

Puji syukur tak henti-henti mengalir dari bibir Ranti, pasalnya suaminya itu diperbolehkan pulang. Dua hari dirawat, memperbaik kondisi pria baruh baya tersebut. Bimo tampak kebingungan, Ranti yang menyadari segera bertanya, "Kenapa, Mas?"

"Anak-anak mana?" Bimo berbalik tanya sambil membuka pintu taxi yang sudah tiba, Ranti membantu membukakan. Belum juga menjawab pertanyaan Bimo, sepertinya Ranti sengaja mengulur waktu atau pura-pura tidak mendengar.

Mobil pun melesat, supir melajukan pada kecepatan standar. Membelah jalanan yang becek karena habis diguyur hujan, beruntung Jakarta sekarang jarang banjir. Pemerintah sudah mati-matian mencegah bencana tersebut agar tidak terjadi.

Di tengah perjalanan, Bimo kembali mengeluarkan suara, "Pak, Jalan Sunter Karya Selatan." Lantas Ranti menoleh dan menatap tidak mengenakkan. Alamat rumah Sarah, yang benar saja ke sana lagi.

Namun, Ranti tak berani mencegah. Bukan tidak ada hak, tapi biar lah. Tiba-tiba saja hatinya berubah jadi baik, memberi waktu untuk Bimo bertemu anak-anaknya. Untuk, terakhir kali. Senyum smirk tercetak sebagaimana mestinya. Karena Ranti sudah memesan tiket untuk keberangkatan ke Bali, sore ini juga.

Tiga tiket untuk tiga orang; Angkasa, Bimo, dan Ranti.

Sampai dengan lancar tanpa kendala apapun, suami-istri ini turun bergantian. Menyerahkan uang sesuai yang tertera di aplikasi, tak lupa ditambahi. Mereka disambut oleh Arland yang kebetulan tengah berkutat pada sepatu di halaman.

"Eh Papah, Alhamdulillah udah boleh pulang." Arland menghentikan kegiatannya, langsung bangkit untuk menyium punggung tangan Bimo dengan sopan. Tangan kanan untuk salim, sedangkan tangan kiri ke belakang. Arland malu jika papahnya tahu sedang memperbaiki sepatu yang sudah tidak layak dipakai.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Bimo, curiga. Belum sempat Arland menjawab, tiba-tiba Ranti mendahului.

"Udah lah, Pah. Ngapain juga ngurusin dia, toh dia udah besar bukan anak kecil lagi." Dengan entengnya berbicara seperti itu, Arland menggelengkan kepala kode supaya Bimo tak bertindak.

Bimo pun melangkahkan kaki ke dalam, terkesiap kaget saat melihat Sarah tepat di belakang hordeng. Sarah keciduk mengintip, jelas malu pakai banget. Ranti yang menyaksikan mendengus kasar dan menjatuhkan bokong ke sofa.

Belum dipersilakan padahal.

Dari dalam dapur, menyembul kepala seorang gadis. Itu Alana, wajah ceria kala mendapati papahnya sudah balik sama seperti dirinya. Beda beberapa jam saja. "Papah!" pekik gadis itu, mengembangkan senyum lebar.

Entah mengapa Alana rindu, lantas memeluk pria paruh baya tersebut. Tidak menyadari wajahnya belepotan cream vanilla, sehingga mengotori baju yang dikenakan Bimo.

"Eh kotor, maaf, Pah." Alana panik, sibuk mencari sesuatu untuk mengelap noda tersebut. Namun, Bimo sama sekali tidak nenampakkan marah. Malah tersenyum melihat tingkah konyol si anak bungsu.

Lalu, kepala Alana mengedar. Mencari keberadaan seseorang, "Liat Arland, enggak?" tanyanya. Merasa ada bayangan orang di luar, Alana ke sana. "Bang!" panggil gadis itu sengaja membuat abangnya kaget.

Angkasa yang baru keluar dari dapur, langsung mengikuti jejak Alana. Tanpa mengucap sepatah kata pun saat melewati mereka, apalagi membongkok tanda permisi.

"Alana, kalau abang jantungan gimana?" tanya Arland lesu sambil memegangi dada, terlalu melebih-lebihkan.

Alana menjatuhkan bokong di lantai, matanya mengintimidasi kegiatan yang dilakukan lelaki itu.

Angkasa yang baru saja datang, langsung berucap, "Kan bisa beli yang baru, Bang." Kalimat tersebut meluncur begitu saja, menggetarkan jiwa kemiskinan Arland.

"Iya, Bang. Itu udah gak bisa dipakai, nanti copot lagi di tengah jalan," timpal Alana, menatap sendu sepatu di hadapannya ini.

Tiba-tiba Angkasa mengambil alih, iseng memasukkan tangannya ke celah yang terbuka. Lain halnya dengan Alana yang iba, Angkasa terkesan menjadikan bahan lelucon.

 Lain halnya dengan Alana yang iba, Angkasa terkesan menjadikan bahan lelucon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arland merebut secara kasar, melempar tatapan tajamnya. Alana berada di pihak Arland, walaupun menyuruh mengganti sepatu itu. Lantas gadis itu mencibir, "Gak lucu, bego!" Mendorong pelan bahu Angkasa di sebelahnya, tapi sampai membuat terjungkal ke samping.

"Itu baru lucu!" Alana dan Arland tertawa bersamaan, sementara itu Angkasa merutuki pertahanan dirinya yang lemah banget macam terong direbus.

Tanpa mereka bertiga sadari, ada seseorang yang diam-diam menangsi haru di balik hordeng. Sarah tak menyangka anak-anaknya bisa sekuat itu menghadapi Takdir yang digores Tuhan. Masih bisa tertawa lepas, seolah tak ada beban di pundak masing-masing.

"Eh ayo masuk, kita pesta kue. Yuhuuuu....!!!" ajak Alana dengan antusiasme yang tinggi, menarik semangat lengan abang-abangnya.

Sarah buru-buru menyeka air mata, beruntung Alana tak begitu menyadari. "Bunda, ayo makan kue!" Alana mengajak Sarah juga. Kemudian, menoleh pada Ranti dan Bimo. "Papah sama Tante juga, yuk!" Ajakan yang sama.

Kalau makan di dapur kan gerah, lantas Angkasa berinisiatif membawanya ke depan. Kini loyang yang di atasnya tersusun kue-kue kecil imut nan menggemaskan, dibawa hati-hati oleh Angkasa takut jatuh gagal sia-sia berjam-jam masak bersama Alana. Dan yang pasti sangat mengecewakan.

Arland berbinar, langsung meraih yang bertoping choco chips. Sekaligus tiga buah, rakus tak masalah. "Hmm ... lumayan," komentar Arland setelah gigitan pertama.

"Lumayan enak atau gak enak nih, Bang?" tanya Angkasa sambil mulai mencicipi, sementara itu Alana terlihat gusar sambil menatap keluar jendela. Hari semakin sore, waktu yang sama sekali tak Alana inginkan.

Srekkk ... srekkk....

Suara dari resleting koper besar berwarna merah maroon milik Ranti, kegusaran Alana menemui titik puncak. Ranti memebereskan barang-barang kecil seperti handphone, charger, dan headshet Angkasa yang tergeletak begitu saja di atas nakas.

"Tan, Angkasa kan udah bilang. Jangan hari ini, Angkasa masih mau main bareng mereka." Angkasa bangkit, berlutut di depan Ranti yang duduk di sofa.

"Pah." Lelaki itu kemudian meminta pengertian Bimo, tapi Bimo pun tak bisa mencegah keputusan istrinya. Toh, bisa perang dunia ketiga yang ada. Drama suami takut istri.

K

rekkk

Semua terbengong ketika Ranti bangkit, mengulurkan tangan ke arah Sarah. "Kita pamit, makasih tumpangannya." Kali ini, terdengar tulus atau ... pendengaran mereka saja yang salah.

Sarah meraih jabatan tangan itu, merasakan dadanya sesak dalam waktu sekejap. Cincin pernikahan yang melingkar di jari manis Ranti, sama persis yang dulu sempat dipakai olehnya. Mirip, beda bentuk permatanya saja.

"I--iya, hati-hati di jalan," sahut Sarah terbata. Perlahan, hati Bimo mukai teriris. Semakin nyeri ketika tangis pecah dari bibir mungil Alana tanpa mereka duga.

Di tengah isakan, Alana melirih pelan. "Alana pengin ikut...."

Detik itu, bunda bagaikan orang terbaik sedunia. Kepala wanita tersebut mengangguk tanda menyetujui. Alana menjerit kegirangan sambil meloncat-loncat.

Makin lama bersama bakal makin sakit kalau pisah, Al. Angkasa hanya bisa membatin, tidak mungkin didengar Alana. Akan tetapi, bisa dirasakan gadis itu, nanti.




















Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang