Bab 1

1.8K 105 25
                                    

Kaki kanan Angkasa menginjak teras rumahnya. Baru saja selangkah, jantungnya sudah berdegup kencang. Pikirannya hanyut menduga-duga sedang ada keributan di dalam.

Alana sedari tadi mengekor dari belakang. Kedua tangan perempuan itu meremas kencang jaket yang dikenakan kakaknya--Angkasa. Wajahnya pucat pasi dan keringat dingin mengucur deras memenuhi dahinya.

Angkasa mengangguk mantap, tangan kanannya sudah berada di atas kenop pintu. Alana menggeleng cepat sukses membuat Angkasa menggagalkan niatnya.

Alana menjawab tautan alis Angkasa, "Jangan sekarang, ayo pergi lagi." Dengan nada memohon. Seolah benar-benar takut dengan apa yang terjadi di dalam.

"Ada abang," sahut Angkasa. Menyebut dirinya sendiri dengan sebutan 'abang' yang justru semakin menyadarkan Alana tentang rasa yang dipendamnya selama ini.

Alana menelan salivanya lalu mengembuskan nafasnya kasar. "Ya udah, masuk," ucap perempuan itu akhirnya, walaupun dengan keraguan yang terdengar jelas.

Ceklek

Hening, tapi mencekam. Itulah yang menggambarkan suasana kediaman milik Angkasa dan juga Alana. Bagai memasuki rumah hantu, Alana memejamkan matanya.

Angkasa tertawa kecil dan menggandeng Alana agar tidak nabrak dan jatuh karena matanya tertutup. Alana tak memberontak, perempuan itu mengikuti setiap langkah Angkasa.

Prankkk

Alana membuka matanya cepat, sementara Angkasa melepaskan genggamannya refleks. Kedua insan kakak-beradik yang hanya terpaut 1 tahun itu saling tatap.

"Kamu yang salah!"

"Kamu, bodoh!"

Plakk

"Cukup, mas!"

Kedua tangan Angkasa mengepal, dada laki-laki itu naik turun menahan gejolak amarah. Alana tanpa basa-basi lagi segera menaiki anak tangga, meninggalkan Angkasa yang masih diam di tempat.

"Bang, ayo!" ajak Alana seraya berhenti di beberapa anak tangga sebelum sampai di kamar kedua orangtuanya.

"Jangan ikut campur, kita pergi!" tolak Angkasa kemudian berbalik 180 derajat.

Alana diam beberapa detik menatap punggung Angkasa yang menjauh, lalu akhirnya perempuan itu menuruni anak tangga dengan terburu-buru karena Angkasa yang sudah lumayan jauh.

Brukk

"Aw!" Alana mengerang kesakitan seraya memegangi bokongnya, mendengar erangan adiknya baru Angkasa berbalik dan menghampiri. Sebelumnya ia mengira itu suara keributan di atas.

"Sakit," lirih Alana pelan, matanya berkaca-kaca, memang benar-benar sakit. Namun, Angkasa justru menganggap adiknya ini cengeng.

Rasa kemanusiaan itu masih ada, Angkasa membantu Alana bangkit dari jatuhnya. Laki-laki itu menatap sinis adiknya yang membuat Alana menjadi kesal dan ingin mencongkel kedua bola mata kakaknya itu. Hanya saja, tahu jika perbuatan itu tidak mungkin dilakukan.

"SAYA YANG AKAN PERGI!"

Dalam detik yang sama, Angkasa dan Alana menoleh tanpa dikomando. Mendapati Ibu mereka dengan koper besar di tangannya. Sarah nampak bingung dengan adanya kedua anaknya, selang waktu beberapa detik, seorang lelaki paruh baya keluar dari kamar.

Angkasa melepaskan genggaman tangannya yang tadi untuk membantu Alana, berganti menjadi kepalan tangan yang keras. Gigi-giginya juga bergemeletuk.

Alana sudah tahu apa yang akan kakaknya itu lakukan, adu jotos dengan Bimo. Dan pasti akhirnya ada salah satu yang akan berujung rumah sakit.

Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang