Bab 7

673 47 5
                                    

Di sini, Angkasa dan Alana sama-sama bungkam. Kelopak mata keduanya membendung banyak air mata. Menahan sekuat tenaga agar tidak meluncur bebas. Semilir angin menerpa keheningan yang tercipta kedua insan tersebut.

Alana menatap lurus kakaknya, namun Angkasa justru memalingkan wajah. Alana tahu, Angkasa malu dilihatnya yang kini tengah menangis. Alhasil dengan gerakan pelan, gadis itu memutar wajah kakaknya.

Mata mereka bertemu, dalam, Angkasa menusuk dengan tatapan elangnya. Membuat Alana berkedip beberapa kali sebelum akhirnya berucap,

"Gak ada peraturan hukum yang ngelarang laki-laki nangis, Ang. Kalau emang itu ada cuma orang tolol yang buat." Setelah mengucapkan itu Alana berbalik, berniat pergi dari jembatan gantung ini.

Namun, Angkasa mencegahnya dengan tatapan memohon. "Jangan pergi, jangan tinggalin gue sendirian hadapin semua ini. Gue butuh Lo, Al. Butuh banget." Nada bicara Angkasa lembut, tidak terselip sedikit pun amarah yang tertuju pada Alana seperti biasanya.

Sebenarnya, bisa saja Alana pergi begitu saja meninggalkan Angkasa mengingat ia cukup mempunyai teman bahkan sahabat yang rumahnya bisa ia tinggali. Tapi, bagaimana pun juga ia tak akan tega melihat Angkasa sendirian menghadapi semua ini.

Buktinya, kini Angkasa menangis. Tak ada yang menghapus air dari mata bajanya. Tak ada yang mentransfer kekuatan mental untuknya. Tak ada yang....ah sudahlah, biar semua itu Alana yang lakukan.

Gadis itu mendekat, menatap sendu kakaknya yang ternyata bisa juga menangis. Matanya memejam, menahan tangisnya agar tidak ikut berbaur dengan tangis Angkasa. Cukup lama, sampai sentuhan tangan Angkasa di bahunya membuatnya sadar.

"Maafin gue yang gagal jadi sosok abang buat Lo, Al." Suara Angkasa parau, serak basah.

Alana menggeleng, dan memegang kedua lengan Angkasa, sama-sama menguatkan satu sama lain. "Lo abang terbaik, Ang," jeda, "kata kuncinya sabar." Lalu lekukan bulan sabit itu muncul dengan sendirinya.

Tanpa ba bi bu lagi Angkasa memeluk adiknya, seolah tak berpikir apa dampak pelukannya bagi Alana. Yang bisa gadis itu lakukan hanyalah diam, tak memberontak, membiarkan rasa nyaman ini berlangsung lama. Sekitar 2 menit dan di setiap detiknya, Alana sadar cintanya bagai disiram pupuk dan air. Tumbuh 1 cm per sekonnya.

"Makasih bangetttt, Al. Tetep di sini ya? Jangan tinggalin Angkasa, nanti Angkasa akan gelap tanpa adanya cahaya dari Lo." Angkasa mengecup singkat puncuk kepala Alana lalu mengacak-acak dengan gemas penuh kasih sayang.

Gue sayang sama Lo, Al. Lebih, lebih dari seorang kakak, ucap hati terkecil Angkasa.

Andai kita bukan kakak adik, Ang, batin Alana berandai-andai.

Mereka kembali berpelukan, bahkan jauh lebih erat dari tadi. Saling memberi kasih dan sayang. Usia bukanlah pengukur kedewasaan, namun masalahlah yang membuat seseorang bertambah dewasa. Dan pada masalah ini, Angkasa dan Alana patut disebut dewasa.

Drttt

Getaran ponsel di saku Alana menghentikan momen berpelukan itu. Sang empunya segera merogoh, berharap yang mengirimnya pesan bukan gerbang menuju masalah baru.

Arland :
P
P
P
P
P

Detik ini juga, Alana baru sadar jika ia masih memiliki kakak selain Angkasa. Dia adalah Arland, manusia yang lari dari kenyataan dan tak peduli terhadap apa pun. Semenjak keputusan Bimo menikah lagi, Arland bagai hilang ditelan bumi.

"Siapa?" tanya Angkasa penasaran karena melihat perubahan mimik wajah adiknya itu.

"Ba-bang Arland," sahut Alana terbata-bata. Alana tahu Angkasa benci pada manusia itu. Bahkan, jika mereka bertemu, menyapa pun tidak. Ada dinding kokoh yang bernama gengsi.

Rapuh [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang