prolog

487 78 24
                                    

PROLOG

KIM Namjoon tidak mengerti mengapa banyak orangtua yang menginginkan anaknya terlahir jenius, atau setidaknya pintar. Karena bagi lelaki itu, memiliki otak yang dapat mengingat isi buku pelajaran dalam sekali baca dan mampu mengingat ucapan seseorang dalam sekali dengar adalah sebuah musibah. Pintar memiliki makna lain seperti pelangi yang acap kali dicari setiap kali sesudah hujan, dinikmati karena keindahannya, kemudian ditinggalkan setelah menghilang.

Setelah menyelesaikan soal-soal latihan persiapan ujian matematika, Namjoon meninggalkan bukunya di atas permukaan meja lalu pergi keluar kelas untuk membolos. Dari luar jendela koridor kelas, Namjoon dapat melihat mejanya dikerubungi anak-anak sekelasnya bagaikan semut—mengintip jawabannya bahkan tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Bukannya ia tidak tahu, tetapi ia sudah terlalu malas dan lelah untuk merespon silakan lihat saja jawabanku atau sebaliknya, jangan lihat, kerjakan saja sendiri. Keduanya memiliki dampak yang sama-sama tidak bagus.

Omong-omong, hari ini para guru sedang rapat sehingga tidak ada siapapun di kelas dan Namjoon bisa melakukan aksi bolosnya lebih mudah daripada hari biasa. Hari ini musim gugur yang cerah, langit terlihat biru tak berawan sekalipun sesekali angin berhembus dingin. Kedua kaki Namjoon terus melangkah melewati koridor dan pintu masuk utama. Memanjat sebuah pohon besar di belakang sekolah, lalu melewati tembok pembatas yang tingginya hanya 2 meter dan ia sudah tidak lagi berada di lingkungan sekolah.

Tempat bolos terbaik versinya bukanlah kafe maupun restoran di pinggir jalan yang menguras uang sakunya. Bukan juga game center yang menguras energi dan tidak menyenangkan jika dikunjungi sendirian. Akan tetapi, Namjoon suka mengunjungi sebuah bukit tanpa nama yang terletak di belakang sekolah sejak musim panas yang lalu. Bukit tersebut memiliki tinggi sekitar 50 meter, masih memiliki banyak pohon dan rerumputan seperti hutan kecil, dan jalan setapak yang secara alami terbentuk karena pernah ada orang yang melewatinya. Jarang ada yang mengunjunginya, hingga pintu masuk yang membatasi sekeliling bukit sudah terlihat tua dan berkarat karena terbuat dari besi dan termakan usia. Lambat laun, Namjoon merasa jika ini adalah bukitnya dan diam-diam menamainya sebagai Bukit Koya. Hei, jangan tanya kenapa. Ia hanya iseng melakukannya.

Selain karena bukitnya masih asri, lokasi yang terlampau dekat membuat Namjoon bisa bolak-balik sekolah dengan aman. Bahkan seringkali tidak ketahuan jika ia telah membolos. Sebenarnya siapapun di sekolahnya bisa saja ke tempat yang sama, tetapi selama dua bulan berada di sini, tak pernah ada tanda-tanda seseorang dengan seragam sekolah sepertinya. Karena itu, Namjoon terkejut ketika baru saja ingin bersandar dan tertidur pada sebuah pohon besar yang selama ini menjadi spot favoritnya, ia melihat sosok perempuan berbalut seragam putih dan rok cokelat kotak-kotak khas sekolah, beberapa langkah ke depan. Berpijak pada tanah yang lebih tinggi darinya, memandang langit yang sedikit tertutupi dedaunan dari pohon, dan cahaya matahari yang samar menyinari tubuh perempuan itu.

Namjoon selalu menganggap esistensinya sebagai pelangi, dan ia baru saja melihat sosok pelangi yang nyata.

Bagi penglihatannya, perempuan itu memancarkan beragam cahaya.

Perempuan itu bersinar.

*

12 September 2018

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang