bab 2

219 59 42
                                    

BAB 2

JIKA Taehyung adalah jurnalis, maka Namjoon adalah penyiar. Keduanya memang bergelut di bidang yang serupa, menuntut banyak bicara, dan berita. Perbedaannya adalah Taehyung yang mencari dan Namjoon yang menyampaikan. Setiap hari Jumat pada jam istirahat siang, Namjoon melakukan siaran di bilik radio kecil milik sekolah. Sendirian, tanpa siapa-siapa kecuali bicara dengan perangkat yang akan menyambungkan suaranya ke seluruh penghuni sekolah.

Progam yang dibawakan Namjoon adalah Canetis atau berarti suara dalam bahasa latin. Ia akan membacakan beragam surat dari pendengar, entah itu pengakuan cinta, ajakan kencan, atau permintaan putus—yang menumpuk karena esoknya adalah akhir pekan. Sebuah kotak surat dengan cat warna kayu di depan pintu ruang siaran telah penuh ketika ia sampai di sana, dan Namjoon tidak pernah mengerti mengapa banyak yang mau repot-repot menyelipkan surat diam-diam, sementara letak ruangannya sendiri berada di ujung koridor barisan laboratorium.

Setidaknya, sampai saat ini.

Mengabaikan kotak surat tersebut, Namjoon melangkah masuk ke dalam. Menyalakan semua perangkat radio, dan mulai bersiap untuk melakukan siaran. Hari ini, ia akan memanfaatkan wewenangnya sebagai penyiar.

“Selamat siang, para pendengar! Kembali lagi dengan Kim Namjoon di sini dengan program siaran Canetis untuk membacakan surat cinta rahasia kalian. Sekarang, ada satu surat yang menarik dan ditujukan untuk seorang gadis bernama Moon Hyewon.”

Padahal tidak ada satu surat pun yang Namjoon pegang saat ini. Ia tidak membaca apapun. Lelaki itu menyampaikan surat lisannya secara terbuka dengan spontan, tanpa aba-aba. Pengakuan jujur adalah yang ia butuhkan untuk mencari perempuan yang membuat hidupnya jungkir balik dalam sekejap mata.

“Saat itu, kali pertama aku melihatmu … kupikir aku melihat pelangi dari sosokmu. It’s cheesy, right? Tapi sungguh, aku melihat cahaya itu terpancar dari dirimu. Kau bersinar. Maka ijinkan aku melihatnya sekali lagi, mari kita bertemu di depan pintu masuk bukit belakang sekolah sore ini, Moon Hyewon.” Setelahnya Namjoon menjauhkan bibir dari microphone untuk menghela napas. Tangannya pun menggerakan mouse komputer untuk mencari lagu yang akan ia putar siang ini.

Setelah pengakuan konyol itu, Namjoon perlu jeda sebentar di tengah siarannya. Ia tidak pernah mengira jika mengakui sesuatu yang berhubungan dengan rasa tertarik seperti ini benar-benar menguras emosi. Pantas kebanyakan orang mengandalkannya melalui program surat rahasia untuk menyampaikan pesan.

Cause I’ll be in love maze … cause I’ll be in love maze ….

Namjoon merasa lega ketika sudah memutar sebuah lagu enerjik yang menyenangkan. Ia beranjak dari kursinya, berjalan keluar ruangan untuk mengambil surat-surat cinta yang lain dari dalam kotak. Waktu istirahat masih panjang, dan ia masih sempat membaca beberapa pesan lain. Tangannya membuka kotak dengan kunci kecil yang selalu ia bawa ke manapun, lalu mengumpulkan setumpuk surat dengan beragam bentuk dan warna amplop maupun hanya kertas-kertas biasa yang dilipat. Mendekapnya di dada dengan sebelah tangan agar tak terjatuh, sementara sebelah tangannya yang lain berusaha kembali mengunci kotak.
Saat itulah ia mendengar suara perempuan yang asing.

“Hei, Kim Namjoon!”

Jemari tangannya berhasil mengunci kotak dan menimbulkan bunyi klik pelan, kemudian ia menoleh. Namjoon terpaku melihat perempuan yang sedang berjalan dengan cepat menuju ke arahnya, begitu bersinar hingga ia tidak menjaga konsentrasinya sehingga tumpukan surat yang dipegangnya terlepas dan jatuh begitu saja. Berhamburan.

“Astaga, aku mengejutkanmu, ya?” Perempuan itu sekarang sudah berada di radius satu meter dari Namjoon, dan sesuai foto yang ia ingat di ponselnya ….

Perempuan itu memang Moon Hyewon.

Take my ay ay hand soneul nohji ma

My ay ay deo gakkai wa

My ay ay jeoldae eosgallimyon andwae

In love maze

“Tu-tunggu sebentar di sini,” kata Namjoon dengan terburu-buru. Ada dua hal yang membuatnya diserang panik secara tiba-tiba. Yaitu lagu Love Maze yang sedang diputarnya selesai, dan kehadiran Moon Hyewon yang tidak diduganya. “Aku perlu mengurus sesuatu di dalam. Biarkan saja surat-suratnya, nanti aku yang akan membereskan.”

*

KETIKA mendengar namanya di radio, Hyewon segera berlari menuju ruang siaran yang sebetulnya jarang dilaluinya. Itu adalah reaksi spontan, disebabkan gejolak rasa malu yang memenuhi seluruh dirinya. Tiba-tiba saja ia menjadi sorot perhatian di kantin, wajahnya merona karena tidak biasa dengan itu, dan memutuskan untuk melarikan diri.

Hyewon ingin mencari pelaku di balik semua ini. Siapa sih lelaki yang berani-beraninya mengatakan hal memalukan seperti itu di seluruh sekolah? Kim Namjoon yang jenius tetapi memilih menjadi penyiar itu pasti tahu, ia yakin karena lelaki itulah yang membacakannya.

Sayang, sesampainya di sana terjadi hal yang tidak diduga. Namjoon terlihat sibuk, ia mengganggu, dan ditinggalkan. Hyewon melirik surat-surat yang berjatuhan di dekat kakinya, dan berjongkok untuk memungut satu demi satu. Kemudian ia menyadari sesuatu ketika melihat surat-surat itu, orang bodoh mana yang mengirimkan surat untuk seseorang secara gamblang menyebut nama sedangkan bisa secara anonim.

“Maaf menunggu lama.” Namjoon telah kembali dari ruangan siaran, ikut berjongkok di dekat Hyewon dan melakukan hal yang sama, mengumpulkan surat-surat yang tercecer. Dan Hyewon baru menyadari bahwa lagu yang diputar telah berganti. “Padahal sudah kubilang biar aku saja yang melakukannya.”

“Tidak apa-apa,” kata Hyewon, lalu surat-surat yang telah terkumpul digenggamannya direbut begitu saja oleh Namjoon. Lelaki itu mengumpulkan semua surat dengan cepat meskipun jumlahnya tidak sedikit.

Setelah itu keduanya pun berdiri, saling berhadapan, canggung dengan lagu Pied Piper yang mengalun melalui speaker sekolah.

“Kau perlu sesuatu?” tanya Namjoon.

Hyewon menggeleng. Membatalkan niatnya untuk bertanya siapa pengirim pesan, ia justru mengucapkan terima kasih.

“Eum, terima kasih telah menyampaikannya untukku.”

Dan sebuah peringatan kecil.

“Kau sudah cukup banyak menerima surat untuk tidak membacakan surat yang ditujukan untukku. Lain kali jangan bacakan lagi.” Hyewon mengatakannya dengan begitu ringan, tanpa tahu ada hati yang patah tepat di hadapannya.

“Baiklah.” Namjoon menanggapi dengan senyuman manis. Setidaknya, bagi Hyewon senyum milik lelaki itu adalah yang paling manis daripada senyuman lelaki lain. “Aku mengerti.”

*

16 September 2018

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang