bab 12

144 23 12
                                    

BAB 12

KELAS musim dingin akhirnya dimulai kembali. Udara masih beku dengan suhu di bawah nol derajat, kepingan salju terus turun tanpa henti, menumpukan salju di sepanjang jalan. Semua menggunakan seragam musim dingin, lengkap dengan syal dan sarung tangan wol.

Nyatanya, ada yang berbeda dari sekolah. Hyewon dan Haerin tidak lagi berdekatan. Hyewon yang menghindar lebih dulu, bertukar tempat duduk dengan salah satu teman di kelas ke posisi terjauh dari Haerin. Ia selalu menghindari kontak mata, mengabaikan presensi Haerin yang berusaha berbicara padanya.

Lalu, semua orang mengikuti. Menganggap kehadiran Haerin hanyalah debu yang kasat mata. Membalas ucapan seperlunya dengan sinis. Membencinya karena kesalahan malam itu. Begitu besar pengaruh perilaku Hyewon terhadap keadaan Haerin di sekolah.

“Apa tidak masalah membiarkan Haerin seperti itu?” tanya Namjoon, ketika berpapasan dengan Hyewon di kantin. Sebelumnya, ia melihat Haerin datang sendirian, memesan makanan seadanya, dan mencari tempat duduk di sudut. Ia juga tahu bahwa ada yang menarik rambut Haerin dari belakang, tetapi gadis itu hanya diam.

“Biarkan saja,” jawab Hyewon ketus, “jika kau ingin peduli, jangan tunjukan itu di depanku.”

Namjoon mengesah, lalu tidak dapat menahan diri untuk bertanya, “Di mana Jimin?”

“Tidak masuk. Katanya ada urusan penting sehingga ijin sekitar dua-tiga hari,” kata Hyewon, terdengar tak acuh di telinga Namjoon.

Aneh sekali. Jimin bilang sampai bertemu di sekolah pasti bukan tanpa alasan. Namjoon yakin lelaki itu tidak akan lari begitu saja. Ia juga yakin, Jimin tidak bermaksud untuk meninggalkan Haerin sengsara seperti itu.

Karena bukan urusannya, Namjoon merangkul bahu Hyewon. Kemudian sedikit menunduk untuk berkata dengan suara pelan kepada gadis itu, “Bagaimana kalau kita pulang bersama nanti?”

“Boleh.”

Ada satu hal lagi yang terlihat berubah di sekolah; hubungan Namjoon dan Hyewon yang sebelumnya tidak pernah dekat.

*

“SEBELUM pulang, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” kata Namjoon yang sudah menunggu di depan kelas kepada Hyewon.

Teman-teman gadis itu berbisik riuh di belakang, mungkin membicarakan betapa cepat Hyewon dekat dengan lelaki lain—padahal banyak yang menyayangkan putusnya Hyewon dengan Jimin yang selama ini menjadi idola sekolah. Atau mungkin membicarakan Namjoon, yang selama ini populer karena prestasi membanggakan sekaligus penyiar mingguan yang mengisi program favorit di radio.

“Tentu, ayo kita pergi.” Hyewon berkata, dan membiarkan dirinya mengikuti Namjoon. Ia berjalan di samping lelaki itu, berusaha menyamakan langkahnya yang lebar. Kemudian ia tahu—mereka menuju ruang siaran.

“Mengapa kita ke sini?” tanya Hyewon, sementara Namjoon mulai membuka ruangan yang terkunci. Untuk sesaat, dilihatnya kotak pos yang penuh—sebelum ikut masuk ke dalam bersama lelaki itu.

“Ini tempat pribadiku dan aku ingin menunjukannya kepadamu,” jawab Namjoon sambil tersenyum. Ia duduk dan menggunakan headphones di kedua telinga, lalu memandang Hyewon. “Bagaimana menurutmu, apakah aku keren?”

Hyewon tertawa, melihat lebih detail ruang siaran yang dulu tidak diperhatikannya dengan jeli. Ada seperangkat alat siaran rumit dan tidak ia pahami, meja dan kursi untuk bersantai, sebuah lemari besi untuk menyimpan peralatan, serta kantung sampah plastik berwarna putih. Segalanya ditata dengan rapi dan teratur.

“Bukankah ruangan ini milik seluruh anggota klub siaran?” Hyewon balas bertanya tanpa berniat untuk menjawab. “Ini bukan tempat pribadimu.”

“Kau benar, tetapi aku yang paling sering menghabiskan waktuku di sini. Sedangkan yang lainnya hanya saat bertugas,” ucap Namjoon, “Secara tak resmi ini menjadi milikku.”

Hyewon duduk di kursi depan Namjoon, teringat bahwa tempat ini adalah lokasi kali pertama mereka bertemu. “Dulu kita berjumpa di sini, kau ingat?”

“Tentu saja. Aku tidak bisa melupakan setiap momen bersamamu,” jawab Namjoon seraya melepaskan headphones-nya kembali. Ia mendekatkan tubuh ke arah gadis itu, meraih tangannya untuk digenggam. “Jika aku berkata padamu bahwa aku sudah tertarik padamu sejak saat itu, akankah kau percaya?”

“Namjoon …”

“Kurasa aku jatuh cinta padamu.”

Hyewon terdiam ketika pengakuan itu masuk ke rungunya. Jantung gadis itu berdetak cepat—hei, siapa yang tidak gugup ketika menghadapi situasi seperti ini. Ia tidak siap, ia belum sembuh dari patah hati, ia takut terluka semakin parah. Walaupun Namjoon bersikap baik dan memiliki senyuman yang manis sekali, tetap saja hubungan bukan sesuatu yang mudah.

Tampaknya semua yang dipikirkan Hyewon tampak jelas di wajah, sehingga Namjoon mengendurkan genggaman. Masih dengan tersenyum, ditatapnya gadis itu dengan pengertian.

“Aku tahu, sekarang atau dalam waktu dekat kau tidak akan mau menjalin hubungan kekasih. Jadi aku akan menunggu, Hyewon.” Lelaki itu menjeda kalimatnya dengan hembusan napas pendek, membantu Namjoon berpikir apa yang harus ia katakan lagi, “bahkan langit bisa menunggu sampai hujan reda untuk menaungi pelanginya. Bukankah begitu?”

“Kali pertama aku melihatmu … kupikir aku melihat pelangi dari sosokmu.”

Sebuah suara diingat kembali oleh sel otak Hyewon dan ia terkejut. Seolah itu adalah sinyal, bahwa anonim di siaran hari itu adalah Namjoon sendiri.

“Ayo kita pulang, sebelum udara juga semakin dingin menjelang malam,” kata Namjoon.

Hyewon mengangguk, berdiri dari kursinya. “Terima kasih.”

“… karena pengakuanmu dan telah mengerti diriku, Namjoon.”

*

AWALNYA Taehyung mengira Namjoon akan menemuinya, dan mengajak bicara terkait insiden di pesta natal itu. Atau skenario paling parah yang terputar di otaknya, Namjoon yang tidak dapat beradu fisik itu akan memukulnya sampai lebam. Bagaimanapun, Taehyung yang dengan sengaja menarik Hyewon … meskipun ia juga tidak menduga bahwa insiden yang terjadi lebih dari biasa.

Taehyung pun terkejut saat mengetahui Haerin seberani itu di bawah pengaruh alkohol. Ia kira gadis itu hanya akan memeluk Jimin yang disukainya, bukan mencium. Segala sesuatunya menjadi menarik sekarang, ia bahkan sangat bersemangat ketika menyebarkan kejadian ini ke media sosial.

Menyenangkan sekali melihat banyak orang bersiteru, terlebih karena cinta.

Jika Taehyung pikirkan lebih lanjut, yang paling menguntungkan di sini adalah Namjoon. Lelaki pintar itu menjadi dekat dengan gadis yang selama ini menarik rasa penasarannya. Bahkan Hyewon meminta nomor ponsel Namjoon darinya.

Kemudian, Namjoon akan keluar dari Helian Woods untuk kuliah, meninggalkan dan menghancurkan Hyewon sekali lagi.

Taehyung tertawa.

“Bila semua itu akan terjadi … sangat kasihan.”

*

19 September 2019

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang