bab 9

160 32 38
                                    

BAB 9

“AKU benci mereka!”

Namjoon tidak tahu apakah ia harus menganggap ini kesialan atau sebaliknya. Libur musim dingin masih berlangsung, dan ia menghabiskan waktu dengan Hyewon yang patah hati.

Pesta natal tempo hari berakhir dengan kacau. Ketika Hyewon melihat kekasih—mungkin sekarang lebih pantas disebut mantan karena gadis itu memutuskannya sepihak—dan sahabatnya berciuman, gadis itu segera melupakan rencana awal untuk berdansa dengan Taehyung dan menghampiri kedua humani itu. Ia berteriak, sehingga pagutan bibir antara Jimin dan Haerin terlepas secara tiba-tiba. Ia mendorong Haerin sampai terjatuh, dan memaki Jimin yang tak bisa berkata-kata.

Saat itu, secara refleks Namjoon menghampiri Hyewon untuk menenangkannya. Menyadarkan gadis itu bahwa mereka bertiga mulai menjadi perhatian publik. Lelaki itu benci saat tak sengaja matanya bersitatap dengan Taehyung yang tersenyum culas, tetapi ia memutuskan untuk mengurus itu nanti.

Setelah Namjoon menghentikan amarah Hyewon, gadis itu membubarkan pesta. Satu per satu pergi dari ruang pesta, menyisakan mereka berdua di sana. Namjoon tidak tega membiarkan gadis itu sendirian.

“Kenapa kau masih di sini?” tanya Hyewon waktu itu.

“Aku tak ingin kau sendirian,” jawab Namjoon jujur.

Hyewon tertawa hambar. “Jangan kasihani aku, pergilah. Aku akan menghubungimu lagi nanti untuk mengabarkan bahwa aku baik-baik saja.”

Begitulah. Setelah Namjoon pulang dengan setengah hati, beberapa hari kemudian Hyewon meneleponnya. Ia tak tahu bagaimana gadis itu bisa mendapat nomornya, mungkin saja Taehyung berengsek itu yang memberikan. Hyewon mengajak bertemu, dan di sinilah mereka sekarang.

Di atas bukit belakang sekolah yang rawan, karena seluruh tanahnya tertutup salju dan bisa saja membuat mereka tergelincir saat mendaki. Udara dingin tidak berhenti berhembus di puncak tempat mereka berdiri sekarang, dan Namjoon merasa tubuhnya mulai mengigil walaupun sudah memakai pakaian hangat yang tebal.

Sejak tadi Hyewon tidak berhenti berteriak kepada udara kosong, mengumpati Jimin dan Haerin yang jelas berselingkuh di depan matanya sendiri. Namjoon membiarkan gadis itu melakukannya sampai puas, hanya memperhatikannya, untuk berjaga-jaga agar tidak ada sesuatu yang buruk terjadi.

“Sialan!” seru Hyewon final, lalu terduduk di atas salju yang dingin.

Namjoon pun duduk di sebelahnya. “Sudah puas?”

“Ya. Thanks,” ujar Hyewon, masih berusaha mengontrol napasnya yang menderu setelah berteriak.

“Mau makan?” tanya Namjoon. Barusan adalah sebuah pertanyaan yang aman. “Mari kita cari tempat yang lebih hangat. Di sini dingin sekali, kau tahu?”

Hyewon tersenyum kecil. “Boleh. Kau yang traktir.”

“Asalkan makanmu tidak banyak, boleh saja.”

“Hei!” Akhirnya Hyewon tertawa, bahkan memukul bahu lelaki itu pelan. Namjoon merasa lega karena kembali menemukan pelanginya.

*

JANGAN bilang Jimin tidak melakukan apa-apa setelah kejadian itu.

Ia datang ke rumah Hyewon, setiap dua kali sehari pada jam yang berbeda, tetapi pintunya selalu tertutup. Ia mengetuk, dan tidak mendapat jawaban. Gadisnya marah, bahkan Jimin ragu apakah Hyewon masih gadisnya setelah perilakunya yang di luar kendali.

“Bodoh.” Jimin berkata seperti itu kepada dirinya sendiri setiap hari. Ia tak bermaksud untuk mencium Haerin, gadis itu yang memulai. Namun, rasa bersalah terus menghantuinya di setiap detik karena ia juga menikmati ciuman gadis itu. Jika saja saat itu Hyewon tak berteriak, mungkin ia sudah membalas ciuman Haerin.

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang