bab 10

134 28 36
                                    

BAB 10

HAERIN membanting ponselnya kasar ke atas tempat tidur, menahan segala macam emosi akibat melihat komentar buruk dari media sosial. Kabar mengenai ia mencium Jimin sudah tersebar luas, bahkan ada yang memotret mereka dengan sengaja dan menyebarkannya, sehingga ia menerima umpatan dari teman-temannya sendiri.

Teman, huh? Bahkan Haerin meragukannya sekarang.

Gadis itu tidak punya teman dekat selain Hyewon, dan ia mengkhianatinya. Ia memiliki banyak teman karena Hyewon, dan sekarang semua itu seolah menjadi bumerang baginya. Haerin berbaring di atas tempat tidur, memejamkan mata, tetapi justru teringat akan ciuman malam itu. Sial.

Jimin juga sudah pasti membencinya. Hubungan mereka berantakan karenanya, dan lelaki itu tidak pernah menghubunginya sejak saat itu. Lagipula untuk apa? Haerin seharusnya tidak berharap hal yang baik atas kebodohannya sendiri.

Namun, semesta seolah menjawab harapan Haerin. Siang itu cerah untuk hari yang dingin di musim bersalju, presensi Jimin muncul lagi di rumah gadis itu.

“Hei.” Haerin tersenyum canggung. Ia tidak tahu bagaimana cara Jimin merayu ibunya. Tiba-tiba saja ibunya ke kamar dan berkata bahwa Jimin datang untuk mengajaknya keluar. Oh, jangan lupakan tentang sang ibu yang memuji Jimin sebagai seorang lelaki yang manis dan sopan.

“Haerin, kita perlu bicara,” kata Jimin, tidak kalah canggungnya dengan gadis itu. “Ini bukan kencan, tapi sebaiknya kau mengganti pakaian tidurmu sebelum keluar.”

Haerin menatap piyamanya, mendominan warna biru dan krem serta gambar berbentuk kucing. Pipinya merona, malu sekaligus kesal dengan ucapan Jimin, tetapi juga menyukai setengah mati. Ah, perasaannya bertepuk sebelah tangan.

“Aku juga tidak berharap kencan denganmu,” kata Haerin ketus. “Tunggu sebentar, aku akan segera kembali.”

Begitulah. Selama lima menit Haerin bersiap-siap, dan kemudian ia pergi dengan Jimin bersama mobil bobroknya malam itu. Masih berwarna hitam dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa bagian, aroma Jimin yang sangat khas, tempat duduk yang tidak lagi empuk, dan tumpukan kaset pada dashboard.

Jimin menyetir tanpa tujuan, hanya berputar-putar melewati jalan secara acak, sampai pada suatu waktu ia berkata, “Aku sudah tahu apa yang mereka lakukan padamu. Semua caci maki dan hinaan di media sosial itu … maaf, Haerin.”

“Itu bukan salahmu,” ucap Haerin, enggan untuk menatap Jimin. Ia memandang keluar jendela, salju turun perlahan-lahan dan melebur dengan cepat ketika menyentuh tanah. “Aku yang salah, Jimin.”

“Kau akan menghadapi hari yang buruk di sekolah nanti,” kata Jimin, tidak membenarkan perkataan Haerin sebelumnya. “Dan aku tidak akan tega. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu untuk meredam gosip mereka.”

“Tidak apa-apa.” Suara Haerin bergetar saat mengatakannya. “Jangan peduli padaku. Jangan bersikap baik padaku. Jangan … oh astaga, berhenti membuatku mencintaimu.”

Lalu, Haerin menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia mulai terisak pelan. Dapat dirasakannya laju mobil menepi dan berhenti, kemudian sebuah tangan memeluknya.

“Maaf, Haerin. Maaf.” Jimin berkata. Ia mengusap punggung Haerin untuk menenangkannya, tetapi gadis itu justru terisak semakin keras.

“Bukan salahmu, seharusnya aku yang berkata maaf.” Haerin mendorong tubuh Jimin, tetapi lelaki itu masih tetap memeluk. Ia memang menginginkan pelukan dari Jimin setiap hari, tetapi bukan situasi seperti ini yang ia inginkan.

“Apa kau tahu mengapa aku terus meminta maaf? Karena pada malam itu, aku juga ingin balas menciummu.” Jimin melonggarkan pelukannya, dan segera menahan kedua tangan Haerin yang menutupi wajah.

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang