Jilid 1

1.8K 15 1
                                    

Dua orang penunggang kuda itu amat gagah dan mengagumkan semua orang yang kebetulan bersimpang jalan dengan mereka. Dua ekor kuda tunggangan mereka juga merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi besar dan kuat. Kuda-kuda itu berlari congklang ketika mereka memasuki sebuah dusun.

Laki-laki itu berusia kurang lebih tiga puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah, dan sikapnya anggun berwibawa seperti sikap yang biasa nampak pada diri seorang bangsawan tinggi, sikap seseorang yang merasa akan kebesaran dan kepentingan pribadinya. Mulut dan matanya selalu nampak tersenyum ramah, namun di balik sinar mata yang ramah itu kadang-kadang kelihatan sinar mencorong yang aneh. Dia menunggang kuda berbulu hitam yang nampak ganas dan liar, namun penurut di bawah kendali kedua tangannya yang kokoh kuat itu.

Adapun wanita yang menunggang kuda berbulu putih di sampingnya adalah sorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun, tubuhnya masih seperti seorang gadis yangbaru berusia dua puluh tahunan saja, masih padat dengan pinggang yang ramping. Wajah wanita inipun masih cantik dan manis sekali dengan setitik tahi lalat di pipinya, dan seperti juga pria itu, ia menunggang kuda dengan tubuh yang tegak dan lemas, sikap seorang penunggang kuda yang mahir.

Pakaian sepasang suami isteri yang anggun dan gagah ini cukup mewah, dan keduanya mengenakan sepatu kulit yang mengkilap, model sepatu boot yang biasa dipakai oleh orang-orang kulit putih, dan mereka melindungi tubuh dari hawa dingin dengan mantel tebal yang berkibar di belakang mereka.

Suami isteri itu melewati sebuah kedai arak dan keduanya saling pandang.

"Bagaimana kalau kita beristirahat sebentar sambil minum arak agar kuda kita tidak terlalu lelah ?" tanya si wanita bertahi lalat itu kepada suaminya.

Sang suami tidak menjawab, melainkan memandang ke arah dua ekor kuda yang mereka tunggangi. Memang kuda-kuda itu nampak lelah, penuh keringat karena mereka telah melakukan perjalanan jauh, sejak pagi adi dan kini sudah lewat tengah hari. Dia mengangguk dan keduanya lalu turun dari punggung kuda, menuntun kuda mereka menghampiri kedai arak, mengikat kendali kuda di depan kedai, lalu memasuki kedai itu, disambut oleh seorang pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat melihat datangnya dua orang berpakaian mewah itu.

"Selamat siang, tuan dan nyonya !" katanya penuh hormat,
"Silakan duduk dan kami akan menghidangkan masakan yang paling lezat. Arak kami paling terkenal di seluruh daerah ini !"

"Sediakan masakan dan arak yang terbaik untuk kami, dan sediakan pula air dan rumput yang baik untuk dua ekor kuda kami."

Pelayan itu mengerutkan alisnya, memandang ke arah dua ekor kuda di luar.

"Akan tetapi, tuan ...... kami tidak biasa mencarikan makan minum untuk kuda ...... "

"Carikan saja, kami akan membayar berapa saja yang kau minta !" kata si wanita dan pelayan itu mengangguk- angguk dan tersenyum. Kesempatan baik untuk mendapatkan hasil tambahan, pikirnya.

"Baik, nyonya. Silakan duduk ...... !" pelayan itu mengantar mereka ke sebuah meja di ujung bagian dalam yang menghadap keluar. Suami isteri itu duduk menghadapi meja, saling berhadapan, yang pria menghadap keluar sedangkan yang wanita menghadap ke dalam. dengan demikian, keduanya dapat meneliti pintu luar dan pintu dalam. Dua buah buntalan yang tadi mereka turunkan dari punggung kuda dan mereka bawa masuk, mereka letakkan di atas meja.

Tak lama kemudian mereka melihat seorang pelayan memberi rumput dan air kepada kuda mereka di luar, dan setelah pelayan datang membawa hidangan berupa masakan yang masih panas mengepul dan juga nasi dan arak, mereka lalu makan minum tanpa banyak cakap.

Selagi suami isteri ini makan dan minum di dalam kedai arak ang tidak berapa besar itu, dan tidak ada tamu lain kecuali mereka di siang hari itu, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dan banyak orang bergerak di sekeliling rumah makan. Para pelayan kelihatan ketakutan dan mereka lari keluar dari rumah makan, Hal ini tentu saja diketahui oleh suami isteri yang sedang makan, akan tetapi keduanya hanya saling pandang sejenak, kemudian melanjutkan makan minum seolah-olah mereka tidak tahu akan gerakan banyak orang yang mengepung rumah makan.

Pemberontakan TaipengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang