Pagi hari, kusegerakan diri ini untuk pergi kerumah Kang Danu, demi si Elang, ditambah pereda hati pelipur lara akan kejadian tak mengenakkan yang sempat menghampiri diriku kemarin siang. Masih membekas saja. Rasa dan batin begitu menyatu dengan indahnya. Parah.
Ditemani dengan segelas teh hangat yang dibuatkan oleh Kang Danu, aku duduk tepat di pinggir baliho partai yang disiapkan beberapa bangku kecil-kecilan disini, memperhatikan tiap gerak-gerik Kang Danu yang sibuk dan begitu lihainya disaat mengutak-atik si Elang tanpa jeda sampai kotornya tangan akibat bekas oli tak ia hiraukan sedikit pun.
" Nif, susah nih. Udah beli baru aja" keluhnya setelah beres memeriksa keadaan Elang yang entah dilakukan keberapa kali oleh dirinya. Kesal sih, sudah berapa kali aku katakan pada Kang Danu, bahwa Elang tak akan kujual semudah itu. Terlalu banyak kenangan saat bersama Elang, apalagi mengenai kejadian salah kaprah yang terjadi antara diriku, Mbak Hafifah dan juga pacarnya. Bila mengingat hal konyol semacam itu, menertawakan orang yang lebih tua dariku adalah hal paling berdosa yang pernah kurasakan.
" Mck, dikira beli motor kaya beli gorengan apa" Jawabku kesal. Kang Danu terkekeh, entah menertawakan apa. Entah itu nasib motorku atau jawabanku barusan. Kini posisi kami berdua saling berdampingan, tangannya yang semula menggenggam beberapa kunci inggris, kini teralih untuk menggenggam gelas kecil yang berisi kopi hitam sebagai temannya santai.
" Udah ngeluarin banyak duit, tapi tetep aja nih motor gak bener. Jual aja kali nif, paling banter laku lima lah" Tawarnya sambil menyeruput kopi hitamnya secara perlahan.
Mau lima miliyar mau lima triliyun, aku gak perduli. Ayah ku sempat menegurku tentang wejangan-wejangan berbau hal mistis dan kepercayaan dari tempatnya ia lahir, bahwa barang antik tak boleh dijual. Itu sama saja menyia-nyiakan barang peninggalan lama hanya demi sebuah materi yang bersifat sementara seperti uang. Untuk pilihan cerita yang itu, aku tak terlalu percaya. Terserah Ayah mau bilang aku yang terlalu religius atau apalah itu namanya, yang jelas dan yang harus diketahui adalah, tetaplah bersyukur. Belum tentu orang diluar sana memiliki apa yang aku miliki. Apalagi posisi Elang yang sudah menginjak beberapa tahun. Sedih senang sudah di jalankan bersama walau kadang suka malu-maluin.
Tak lama dari lamunanku, tepat didalam kantung celana Jeans berwarna navy ini, sebuah benda pipih tengah berdering hingga meninggalkan sayup-sayup suara yang masih dapat tertangkap oleh kedua telingaku. Buru-buru kurogoh kantungku, takut-takut yang sedang menghubungi diriku ini adalah Dosen bimbinganku yang super sekali bila berhubungan langsung dengan mahasiswa bimbingannya. Bisa-bisa mengejar sampai lubang semut pun dijabani oleh beliau. Luar biasa.
Kubaca baik-baik siapa yang tengah mengganggu waktu santaiku ini. Tiap deret nama bersatu padu menjadi Mbak Hafifah telah berkedip beberapa kali. Spontan saja nafasku terhela dan langsung menggeser icon hijau yang selalu menjadi pemicu adanya getaran pada benda ini.
" Assalamuallaikum, iya Mbak?"
' Kamu dimana, Dek?' Tanyanya dari sebrang sana. Kutolehkan kepalaku kesana kemari mencari sebuah alasan yang signifikan agar tak menaruh rasa curiga pada Mbak Hafifah yang masih menunggu jawaban pasti dari adiknya ini. Ia paling anti jika mendengar kabarnya diriku yang sedang asyik-asyiknya memperbaiki Elang dibandingkan berdiam diri dirumah seperti Aghi dan teman-temanku pada umumnya. Pasti satu dua kata yang ral nya sudah melebihi ral rapp pada lagu hip hop akan keluar dari bibirnya. Huhh bisa dibayangkan sepanas apa telinga ini.
" Lagi ngerjain tugas harian, mbak. Kenapa?" Ingat. Bohong boleh, tapi demi kebaikan.
Kebaikan bersama dong.' Bisa minta tolong gak, Dek?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Melonatte
FanfictionTernyata, Google tak mampu menemukan jodoh untukku. Kalau itu pun mampu, mungkin dari dulu aku sudah memberikan calon mantu terbaik untuk Ibu dan Ayah dirumah - Ahmad Hanif Mubarak ------------------ Ini kisah sih Hanif dalam berpetualang mencari ke...