Suara Adzan magrib telah berkumandang, tepat didepan kedua orang tuaku, dan kakak perempuanku, kami sama-sama melepaskan dahaga yang sempat ditahankan selama sehari penuh. Ayah yang memimpin waktu buka kami hari ini.
Segelas es teh bersamaan dengan lauk pauk didepan sudah melengkapi menu buka kami. Ibu yang sibuk menaruh secentong nasi diatas piring kami tiba-tiba saja terurunkan. Kakinya lebih memilih untuk melangkah kedalam kamar untuk mengambil sesuatu didalamnya. Kuintip sedikit apa yang sedang dilakukan Ibu.
Beliau sangat sibuk menjawab dering ponsel yang menunda kegiatannya, kepalanya sedikit ia timbulkan dari balik dinding, melambaikan tangannya untuk memanggil Ayah yang masih duduk didepan mejanya. Kini keduanya sama-sama sibuk untuk menjawab panggilan telpon dari seseorang disebrang sana. Tampak serius, bahkan ingin sekali kupertanyakan pada kakak perempuanku, sedang membicarakan apa kedua orang tuaku ini.
" Mbak anu, Ayah sama Ibu ngomongin apa, sih?" Mbak Hafifah menaikkan kedua bahunya, tak berminat. "Gak tau, kata Ayah tadi sore sih om Wildan mau nelpon karena beliau mau kesini tapi gak tau deh kapan" Otakku semakin berpikiran yang tidak-tidak, semacam ada yang janggal karena tak pernah biasanya paman kami yang satu itu ingin berkujung jika tidak ada sesuatu yang memaksakan beliau untuk datang ke sini.
" Mau ngapain om Wildan ke sini? Mau ngomongin masalah pekerjaan?" Ujarku, yang responnya membuat kedua mata kakak perempuanku ikut memperhatikan diriku dengan lekat, seakan ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika menyangkut om Wildan.
" Apaan, sih. Jangan sok tahu kali, Nif"
Aku diam sediam-diamnya. Apa kedua orang tuaku masih ingin menitipkanku dengan saudara kami? Makanan yang sudah disediakan Ibuku kini tak kuminati lagi, seketika perutku terasa penuh. Kakiku lebih memilih untuk pergi dari tempat ini. Malas. Sudah kupastikan setelah ini topik pembicaraan berbeda 180 derajat dari sebelumnya.
Panggilan mbak Hafifah semakin mengeras, mungkin karena suara kakak perempuanku, Ayah ikut memanggil begitupun Ibu, ingin sekali ku tulikan telingaku. Jaket yang kusampirkan pada belakang pintu kamar telah kusambut, kukenakan pada tubuhku tanpa lupa membawa kunci motor yang ada pada meja belajar. Kepalaku menoleh begitu mendengar pintu kamar tengah terbuka. Mbak Hafifah sudah berdiri disana dengan tangan kanan yang masih menahan ambang pintu.
" Nif, kamu mau kemana?"
" Mau main ketempat Bima"
" Nif, belum tentu loh Ayah ngomong dengan om Wildan. Siapa tahu saudara Ayah yang lain. Kamu kok bisa mikir gitu, sih? Tadi juga kita gak apa-apa. Kamu jangan gitu, dong. Kasian Ibu udah masak banyak"
" Mbak gak ngerasain. Makanya mbak ngegampangin"
Bisikan Setan mengeraskan hatiku. Kedua mata yang cerah sedia kala kini memerah menggenangi kelopak mata miliknya dengan cairan bening yang diproduksikan dari sepasang orbitanya. " Kamu kok keterlaluan gini sih, Nif?"
Aku duduk tepat didekat bibir kasur. Merenungi apa yang telah kuperbuat. Mbak Hafifah, ia ikut duduk disampingku, aku hanya bisa memainkan kedua jemari yang saling bersentuhan ini. Sebercak amarah sedikit demi sedikit kian memudar. Belum, mbak Hafifah belum mengeluarkan satu dua kata pun, kami lebih memilih diam. Tepatnya, aku yang masih menunggunya untuk mengutarakan sesuatu. Benar saja, pikirku.
" Nif, ayah itu bukannya gak menghargai niat kamu untuk cari pekerjaan sendiri. Ayah mau kamu sukses, Nif. Bila perlu, ayah mau kamu lebih dari beliau. Kamu tau kan, sekarang aja ayah mulai sakit-sakitan, sebentar lagi pensiun, ibu cuma Ibu Rumah Tangga biasa, gaji mbak juga gak sebanyak yang kamu pikirin. Gak salah kalau kamu sudah nanamin niat baik bakal cari pekerjaan dari hasil keringat sendiri. Tapi pikir lagi, Jakarta luas. Kamu bisa menjanjikan apa dalam waktu dekat selama ayah pensiun nanti?" Jelasnya. Matanya menatap semakin dalam, menusuk. Aku tak berani, kendati ingin membalas tatapannya, aku justru menurunkan pandanganku sejenak, tersirat rasa kecewa dimatanya, terasa pula bagaimana buruknya perlakuanku hari ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/135416966-288-k225572.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Melonatte
Hayran KurguTernyata, Google tak mampu menemukan jodoh untukku. Kalau itu pun mampu, mungkin dari dulu aku sudah memberikan calon mantu terbaik untuk Ibu dan Ayah dirumah - Ahmad Hanif Mubarak ------------------ Ini kisah sih Hanif dalam berpetualang mencari ke...