7. Kepo

723 164 63
                                    

Mengingat malam itu, siapa kira aku akan tenang menunggu kabar teman-teman dan sahabatku untuk kedepannya, apa lagi Arjuna, dimana kejadian malam itu menjadikan ia adalah saksinya. Secara berbarangan pula, Satria ikut menumpahkan segala rasa tak sukanya pada diriku. Kian kendati, matanya memerah dengan rahang yang mengeras, kedua tangannya mengepal menahan apa yang harusnya tak pantas ia lontarkan. Mungkin begitu pikirnya. Semua yang mereka bicarakan terelak dengan sendirinya, otakku bekerja menyesuaikan ego dihati.

     Buram, kala abu-abu menggenang dihati. Membutakan apapun dengan emosional yang berlebih. Something really is wrong with me. And i don't know what it is.

Ada apa denganku?

Susah payah rasanya harus menjalin hubungan baik kembali dengan pria yang dulunya sempat membantuku tanpa pamrih.

Hati dan pikiranku jauh tak sinkron saat itu, dan masih terbayang sampai kini, hampir saja Ice matcha latte yang kupesan bersama mbak Vivi tadi menjadi korban lamunanku kalau saja ia tak menyadarkanku dari cerita panjang tak terarah ini. Seakan ia peka dengan keadaanku, matanya menerawang kearahku dengan menusuk dan sayu, dengan tangan yang masih setia memegang lembut cup berisikan Moccachino itu. Terbaca, bagaimana matanya berbicara, seakan ia bertanya ada apa ini?

" Tumben kamu diam aja, Din. Lagi ada masalah kampus?" Tanyanya, berusaha mencairkan suasana hening diantara kami berdua.

Bukan mbak, bukan itu. Lebih dari itu malah.

Cukup dengan gelengan, tapi tak membuat gadis ini harus terdiam membiarkan semua masalah hanya menimpah diriku saja. Cukup peka dan bersahabat. Kembali ia bertanya, " kamu ribut ya sama Juna?" Hampir mbak, tapi bukan itu yang ku maksud.

Sekali lagi kepala ini mampu menggeleng.

Menyerah? Bukan mbak Vivi namanya. Kembali ia bertanya, namun matanya menyelaras dengan pandanganku yang makin menurun memperhatikan jemari yang masih memainkan tutup cup yang iseng ku buka dan ku tutup kembali.

" Hanif?" Tanganku terhenti, tergantikan dengan pandangan yang kembali kutegakkan searah matanya. Aku diam sejenak. " Sok tau deh", Jeleknya lagi, aku tak bisa menutupi kebohonganku. Salah satu teman sepermainanku yang satu ini sedikit memiringkan kepalanya, matanya sedikit melebar berharap aku jujur sebelum ia yang mengungkapkan lebih banyak lagi.

Ternyata mengelak pun tak membuahkan hasil, mbak Vivi semakin diam menunggu jawaban dariku. Tak kunjung datang, ia kembali berkata.

" Aku tau kamu ada apa-apanya dengan Hanif, benarkan?" Tanyanya penuh penekanan. " Ditanya soal Hanif aja ekspresinya langsung berubah" lanjutnya.

" Mbak gak usah bahas-bahas tuh orang deh, sumpah gak banget" Kesalku. Kedua tangan yang ku tompang pada meja didepan segera ku silangkan, menyenderkan tubuhku dengan malas berharap agar gadis didepanku ini berhenti bertanya dan terus bertanya.

Mbak Vivi mengangguk, tubuhnya ikut ia sandarkan, tangannya mengangkat memanggil salah satu pelayan cafe yang berdiri tak jauh dari kami bersantai " Kopi hitam satu ya" Pesannya, dahiku mengerut secara reflek, kembali ku tegakkan tubuh ini menatapnya bingung mengikuti perginya pelayan cafe yang ia panggil tadi. Sejak kapan mbak Vivi suka Kopi hitam?

" Sejak kapan Mbak Vivi suka kopi hitam?"

Ia hanya tersenyum kalut, tangannya saling menaut di atas meja " Liat aja nanti" ujarnya tanpa menghilangkan senyuman tulus dari kepemilikan bibirnya itu. Tak butuh waktu yang lama untuk menunggu, karena salah satu pekerja diantara mereka dengan ciri khas surai Jambon babi datang membawa 1 teko berisi kopi pekat nan hitam didalamnya, harumnya semerbak kopi begitu nikmat saat perlahan dituangkan kedalam cangkir kosong yang selalu disediakan ditiap masing-masing meja pula, seperginya, kembali lah forum kecil-kecilan yang diciptakan antara aku dan mbak Vivi. Tak ada hujan maupun angin, Mbak Vivi menyuguhkan secangkir Kopi kearahku, oh tidak ia meletakkannya tepat ditengah kami.

Miss MelonatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang