10. Pengakuan

710 141 59
                                    

     Siang itu, ia begitu gelisah. Jemarinya sama-sama ia mainkan, mengetuknya terus menerus diatas permukaan datar yang ia jadikan tumpuan untuk lengannya, sudah beberapa hari ini ada yang mengganggu pikirannya, terlepas itu dari ucapan orang-orang.

     Ia ingin membuktikan, bahwa apa yang dilihat orang-orang tak sesuai dengan kenyataannya. Ia percaya betul, tak mungkin jika kawan sejawatnya mau tega ambil jalan terlebih dahulu dibanding ia.

     Hanya bermodalkan baju seadanya, tak perduli dengan penampilannya, merasa bodo amat, yang penting ia dapat menyelesaikan masalah yang selalu berkelik diotaknya mengenai sebuah kejelasan. Biasanya, ia tak ambil pusing, karena rata-rata dari mereka hanya berlaku usil dan mengada-adakan yang harusnya tidak ada. Tapi ini? Setelah ia pikirkan matang-matang, semua tak tertepis lagi olehnya. Bahkan untuk mengelak perasaan buruk pun tak bisa.

     Tidak, ia hanya ingin menyelesaikannya dengan kepala dingin, jujur sebenarnya ia agak emosi saat tahu hal ini. Diluar itu, Hanif bahkan tak bilang sepatah kata pun kalau ia bahkan gadis incarannya akan pergi tanpa sepengatahuannya. Anggap ia terlalu protektif dan ini terlalu aneh untuk diributkan, padahal kenyataan pahit berkata kalau ia saja belum memiliki status yang paling berarti didalam hidupnya, terlebih untuk Dina dari dirinya.

     Ternyata, Penderitaannya tak berhenti disitu saja. Saat itu, Ia sempat mengutarakan perasaannya, saat setelah kejadian yang melibatkan Hanif atau bahkan Satria sekalipun disatu malam penuh. Lebih tepatnya saat siang hari. Saat ia sengaja menjemput gadis ini untuk pulang bersama. Namun keberuntungan tak berpihak padanya, Dina hanya diam. Tak ada jawaban, tak mengiyakan atau bahkan menolak. Ia bimbang, hatinya terasa terhuyung-huyung. Arjuna begitu baik padanya, sangat baik, tapi tetap saja hati tetaplah hati, mau bagaimana kita pintar dalam menyembunyikan, namun perasaan tak bisa berbohong. Perasaan selalu benar dalam mengutarakan.

     " Maaf kak, Dina udah nganggep kakak tuh kayak abang Dina sendiri, sekali lagi Dina mohon minta maaf sebesar-besarnya dengan Kak Juna. Kalau tetap dipaksa, Dina belum siap"

     " Belum siap, maksud kamu, Din?"

     Kala itu kepalanya menggeleng " Ada orang yang hatinya lagi Dina jaga"

     Ia tahu pasti siapa yang dimaksud. Berbulan-bulan dengan gadis ini, yang dekat padanya hanya ia dan Hanif. Tak ada yang lain. Namun untunglah dengan begitu, Dina adalah gadis pintar, begitu menurutnya, tak seperti gadis lain pada umumnya, Dina tak mau menjaga jarak dengan Arjuna, karena sudah banyak pengorbanan yang Arjuna keluarkan untuk dirinya. Ia tahu diri, jika hal itu terjadi, bukannya terlalu kekanak-kanakan? to much drama seperti gadis-gadis alay baru masuk SMA yang sering Dina lihat di sosial media.

     " Jun" Suara yang sedikit mengintrupsi, tak begitu tenang, namun sedikit kalam itu menyadarkan Arjuna dari lamunannya. Senyumnya terasa pahit dan seadanya tanpa lupa untuk menyapa " Nif, duduk dulu"

     Sudah beberapa hari ini rasanya Arjuna sedikit menjaga jarak padanya. Ia peka. Ia sadar akan perubahan sikap Arjuna. Sekarang, justru hatinya terketus sebuah kata 'Tumben' Hanif merasa was-was. Kini ia ikut duduk berhadapan dengan sahabatnya.

     " Udah lama gak ketemu, Nif. Kangen gua nih jadinya" Ujar Juna, sengaja mengangkat pembicaraan terlebih dahulu.

     " Lu aja yang menghilang ditengah puser. Tiba-tiba ngajak janjian" Candanya. Arjuna hanya tertawa, namun tak selepas dulu.

     " Turut berduka cita atas Ayah lu, Nif. Sorry, waktu itu gua gak bisa datang karena udah pergi duluan"

     Ia mengangguk, memaklumi alasan milik Arjuna.

Miss MelonatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang