11.Bendungan Hati

635 111 54
                                    

     Tempo lalu, tepatnya  jarum jam panjang mengarah pada angka tujuh malam, kalau tak salah  ditemani dengan segelas teh dan duduk bersamaan di teras depan rumah.  Tak terasa semua itu berlalu begitu saja. Seakan kisah kemarin siap akan  ku masukkan kedalam ingatan memori yang tak akan pernah ku lupakan.

     Tinggal hitungan hari, kota Jakarta bersamaan dengan masa muda ku akan menjadi kenangan terindah selama aku tak berada disini.

     Sahabat yang sudah ku anggap sebagai saudara, keluarga yang sudah menjadi separuh hidupku, dan  gadis berwatak keras kepala yang kini mulai mengisi kehidupanku.

     Mungkin hanya selembar kertas berukuran persegi yang akan menjadi temanku disana nantinya, atau  mungkin hanya layar ponsel yang nantinya akan ku jadikan sebagai media pelepas rasa rindu pada mereka.

     " Hanif, Dina dateng tuh"

     " Iya mbak, sebentar" balasku ikut berteriak.

     Baju terakhir sudah ku masukkan kedalam tas berukuran besar yang mampu menampung beberapa bawaanku ini, sengaja tak langsung ku tutupi karena masih banyak keperluan yang harus ku persiapkan, belum lagi barang-barang lain yang akan jadi kebutuhan ku disana.

     Dina, sebut saja begitu, ia duduk diruang tamu sembari memainkan ponsel keluaran terbaru  ditangannya dan ternyata seketika saja fokusnya menghilang begitu mendengar langkah kaki terasa sedikit nyaring dipendengaran saat melangkah. Aku yang duduk disampingnya begitu pula ia, segera ia masukkan benda kecil yang sempat menjadi teman kecilnya ini dikala bosan.

     " Udah beres semua?" Tanyanya. Aku mengangguk.

     " Udah, tinggal  peralatan mandi. Sama siapa ke sini" Tanyaku balik. Ia tersenyum, kali  ini deretan gigi nampak membuat kedua matanya ikut menyipit dengan manis.

     " Naik ojek online, dong"

     " Huh makanya bisa bawa mobil, motor deh gak perlu mobil" Saranku yang mana justru membuatnya kesal karena terdengar meremehkan.

     " Mau buat gue terbang kebawa angin, ya?"

     " Serius banget sih, lagian bercanda"

     " Bercanda apaan" gumamnya sangat kecil.

     " Ya bercanda deh, biar gak kaku-kaku banget" jawabku spontan. Masih dengan kebiasaannya yang  mana masih sibuk menggerutu, seketika matanya jauh terlihat berbinar  seakan ada yang ingin ia tunjukkan padaku. Benar saja, dengan semangat  empat lima ia tunjukkan satu bawaannya berupa paper bag berukuran besar ditangannya padaku, awalnya cukup bingung kalau saja ia tak mengatakan apa-apa seputar apa yang ia berikan ini padaku.

     "Gue mau ngasih ini, tolong diterima ya? Gak terima penolakan, anggep aja kenang-kenangan biar lo semangat kerjanya" tangannya menyuguhkan satu kantung paper bag berukuran besar yang awalnya ia letakkan bersampingan dengannya lebih dekat, aku diam karena tak enak hati. Bahkan sempat terbesit sebuah ide untuk menolak pemberiannya dibandingkan harus kuterima. Ia makin mendesak, tidak mau memberikanku kesemepatan untuk menjawab.

     " Dipake ya? Kalau gak mau lagi, bisa dibalikin ke orangnya kok, jangan dibuang ya, Nif. Kalau bisa dijaga"

     " Ini–apa?"

     " Sepatu"

     " Rasanya ini agak berlebihan, Din. Buat apa kamu beli-beli sepatu untuk saya segala?"

     " Lo gak suka ya?"  Tanyanya penuh hati-hati, melihatnya memasang ekspresi sesedih mungkin mungkin untuk menolak pun tak bisa, tahu situasi saja, peka dulu deh hitung-hitung rezekiku ya tak masalah.

Miss MelonatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang