9. Egois

578 140 30
                                    

Sudah lewat tiga pekan, Ibu masih termenung bahkan terdiam dikursi yang sering sekali Ayah gunakan untuk bersantai dulunya. Rasanya terlalu cemas, pasalnya sejak pagi tadi tidak ada sesendok nasi pun yang mengisi perut Beliau. Ukuran anak seperti diriku saja suka mengeluh jika perut tidak diisi makanan dengan segera, tapi bagi beliau, ia tak pernah mengeluh apapun itu, hanya ia pendam sendiri, tak ingin menceritakan segala hal yang sudah mengelabuhi hatinya.

Aku dan kakak perempuanku saling tatap, memperhatikan gerak-gerik Ibu. Beberapa hari ini, Ibu lebih banyak terdiam, mengandai-andaikan bagaimana jika Ayah masih berada disisi kami. Sesekali nafasnya terhela, sesekali pula matanya menatap kosong kearah depan.

" Ibu makan, ya? Ipeh ambilin makanan" Bujuk Kakakku. Hanya senyuman yang mampu menjawab, tangannya menepuk punggung tangan milik Kakakku dengan lembut saat tangan itu tengah bersentuhan dengan lengan kursi" Ibu udah kenyang, kamu dengan Hanif makan duluan aja, nanti sayurnya dingin"

" Memangnya, Ibu tadi makan apa? Ibu belum makan, loh" ujar kakakku. Berusaha membujuk Ibu habis-habisan tak perduli bagaimana jawaban Ibu selanjutnya.

" Ibu udah makan getuk. Kalau Ibu makan sekarang, Sayang nasinya gak habis. Tuh Hanif mukanya udah kelaperan, mending kamu temenin dia aja, Peh" Tunjuk Ibu menggunakan dagu yang mengacung kedepan seraya bercanda.

" Apaan sih, Bu" Jawabku.

Ibu tertawa, diikuti kakak perempuanku yang masih bersimpuh diatas lantai menggunakan kedua lututnya tepat bersampingan dengan Ibu.

" Makannya dengan Ibu, gak afdol kalau gak makan sama yang masakin" Lanjutku.

" Kok, begitu?" Tanya Ibu.

" Biar masakannya lebih enak, Bu. Kalau mbak Ipeh aja yang nemenin malah makin asin masakannya"

" Eh kurang ajar, ya" Amuk mbak Ipeh hampir melemparkan sandal yang ia kenakan khusus untuk didalam rumah. Berpura-pura untuk menghindar, sehingga membuat wajah kakakku merah padam karena kesal, tak disangka Ibu tertawa, menenangkan Kakakku yang kala itu masih tersulut emosi.

" Ya sudah kita makan bertiga. Kamu juga sih, Nif. Usil banget sama mbak mu. Giliran ada diajak berantem, giliran gak ada nanti nyariin sampai kalang kabut"

" Tau, tuh. Biarin aja di akhirat mulutnya dipaksa ngekumur air panas" Lanjut mbak yang mana membuat diriku semakin menggebu-gebu untuk menertawakan ekspresi dan omongannya yang terdengar konyol.

Sembari memisahkan aku dan Mbakku agar tak terjadi hal yang tak diinginkan, Ibu menuntun kami menuju ruang makan, mempersiapkan beberapa piring untuk diriku beserta kakak perempuanku, obrolan tak pernah lepas dari kami, alih-alih untuk mengalihkan semua apa yang sempat dijadikan pikiran oleh Ibu. Tahu dengan maksudku, kakak perempuanku ikut mengeluarkan lelucon aneh mengarah ke lelucon dewasa yang jelas tak terdengar lucu namun membuat jengkel. Akan tetapi bagiku cukup lumayan dari pada harus menerima kenyataan pahit, kedua perempuan yang sudah dipesankan Ayah untuk dijaga tengah tertawa sembari bersenda gurau.

Ibu hanya tertawa kecil, kadang mengada-adakan aku maupun kakakku sendiri dengan kepala yang menggeleng kesana kemari. Hampir, separuh tempe kecap yang dipotong dadu oleh Ibu habis dengan kami saja. Ternyata, asyiknya suasana membuat kami semua merasakan apa yang kami inginkan akhir-akhir ini.

Kehangatan keluarga.

Tak masalah tanpa sosok Ayah. Bukannya tak ingin. Namun ada waktunya kita harus mengikhlaskan, walau berat dirasa.

" Kok tiba-tiba Ibu kangen Dina, ya?" Celetuk Ibu. Sontak kerongkongan yang niatnya akan ku isi dengan air ini tersendat, membuat kerongkonganku tak mengizinkan air yang masuk kedalamnya. Mbak, yang berada disebrang tak berhenti untuk tertawa seakan sumpah keramatnya telah terlaksana dengan baik. Ibu yang setia disampingku ikut menepuk punggungku berkali-kali, kadang beliau memerintahkanku untuk menarik nafas lalu menghelanya lagi secara berulang.

Miss MelonatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang