3. Cenayang

945 214 109
                                    

Ibarat kata sih, tiada angin tanpa hujan.
Tiada pintar tanpa belajar.

Apa sih cuk.

Beberapa laporan yang sempat kubuat dari beberapa bulan yang lalu sanggup membuat isi kepalaku pecah dan pusing berantakan setengah mati, antara mau mati atau tidak, tapi kalau mati duluan uang yang dihasilkan dari acara joki menjoki laporan PKL adik tingkat ini tak akan dapat kunikmati bersama teman-temanku yang lain atau bahkan untuk mempercantik Elang. Sialan.

" Jadi mana aja yang di coret?" Tanyaku.

Salah satu dari mereka, yang hitam kulitnya ikut menunjuk mana saja kertas yang telah dioret habis dan lecek seperti bungkusan cabai di pasar.

" Ini Bang, yang lainnya sih oke. Cuma kalau yang ini literaturnya gak jelas, gitu katanya"

Wong edan. Memang bukan rahasia umum lagi kalau Dosen selalu benar, mau sebenar apa kita saat ini, ujungnya tetaplah kita yang salah.

Mengenai dosen, kuingat sekali bagaimana penderitaanku saat bertemu dengan Dosen killer dan pelit nilai hingga di juluki Hittler betina nya kampus, jilbab dengan poni yang menjengat begitu membuat wajahnya terlihat sangat garang. Tanpa santai maupun tanpa ampun menjelaskan kontrak kuliah dimana A adalah nilai Tuhan, B adalah Nilai dosen dan C adalah nilai mahasiswa. Koplak! Bagaimana mau maju kalau begini terus?

" Gak jelas gimana? Kan dah gua bilang sama lu makanya kalo konsul bawa buku geblek, kalau lu gak bawa ya dosen mana percaya, malikaaa"

Kenis, pria yang kupanggil malika ini nyengir tak bersalah. Wajah hitam tapi cengiran dari giginya putih. Bisa dibayangkan seberapa menyeramkan waktu mati lampu lalu giginya glowing sembari manggil 'bang Hanif, tugas gua udah selesai belum?' Hiih~

" Dah nanti gue pinjemin bukunya"

" Gitu dong, Bang. Dari tadi kek, gini pan enak, sepaket satu juta lima ratus pun gak rugi gue keluarin buat lo"

Punya adik tingkat gak guna dan gak berotak ya begini. Sialan.

" Ya udah sono, bikin pusing aje lu" Usirku bercanda. Malika pergi, meninggalkan cengiran khas watados alias wajah tanpa dosa sambil berpamitan " Oke bang, koling-koling kalau dah jadi lagi ye bang"

" Iye ITEEEM" jawabku penuh penekanan.

Seperginya mereka, kebetulan sekali panggilan masuk dari Arjuna alias Juna ini mampu meninggalkan tanda bergetar. Langsung saja ku angkat. Satu hal kebiasaan yang tak pernah kusukai dari cowo yang merangkak menjadi sahabatku ini.

" Halo?"

Tuuutt

" Babi emang, misscall doang. Bawaan mobil kerjaannya misscall aje" rutukku sembari mengetikkan tiap nama pada kolom di kontakku sebagai pencaharian nama dari lelaki bernama Juna ini. Segera kuhubungin lagi dengan batin yang terus-terusan tak pernah berhenti untuk menghina dirinya. Dua kali suara sambungan saja pada akhirnya Juna mau mengangkat ponselku di siang bolong begini.

" Halo nif lo dimana?"

" Kampus, kenapa?" Tanyaku balik.

" Minta tolong cak, darurat emergency 69 nih cuk"

" Ya udah bangsat ngomong aja napa sih? gak usah terbelit-belit gitu lu mau minta tolong ape?"

Astagfirullah.

" Jadi gini—"

Yah malah cerita dulu.

"—gue awalnya mau jemput Dina, tapi karena ada kelas dadakan dari Dosen Luar sekalian praktikum makanya gua gak bisa, kira-kira lu bisa jemput Dina gak? Gua ganti deh uang bensinnya Elang. Sekalian besok pagi juga. Ya kira-kira empat hari kedepan deh terhitung sekarang"

Miss MelonatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang