Rasa yang Abadi.
25 Desember 2004.
Juna mengajak Kania ke sebuah pantai di sebelah utara Banda Aceh, Pantai Alue Naga. Terlihat anak-anak kecil bermain dengan gembira, tidak mempedulikan masa depan apa yang akan mereka hadapi kelak. Layang-layang menghiasi langit sore. Mata Juna terkesima dengan lukisan senja milik tuhan, sedangkan Kania terpaku kepada seorang ibu muda yang menggendong bayinya. Sang ibunda yang sedang mengajarkan perihal alam raya ini kepada anaknya yang belum lama melihat bumi. "Jun?" Tutur Kania sembari menyandarkan kepalanya ke bahu Juna. "Iya istriku?" Jawab Juna. Kania menggenggam tangan suaminya "Bunda, panggil aku bunda wahai suamiku." ucapnya. Juna menoleh ke arah istri tercintanya "Hmm?". "Iya. Aku sekarang sudah menjadi ibunda dan kau ayahanda nya." tutur Kania. Refleks dari hatinya yang sedang gembira membuat Juna memeluk istri tercintanya dan mencium keningnya "Terimakasih ya, ibunda." ucapnya. Langit senja sudah berganti malam, tanda untuk mereka kembali ke rumah.26 Desember 2004.
Sehabis selesai shalat subuh, Juna berangkat bersama Yah Cut (suami dari Ma Cut) untuk mengambil ikan di pelabuhan. Juna mencium kening istrinya yang masih lelap tertidur, lalu bergegaslah ia berangkat. "Hati-hati ya suamiku." Kania bertutur dalam tidurnya.Tepat jam setengah tujuh pagi, Juna dan Yah Cut sudah sampai di Pelabuhan Samudera Lampulo. Namun kapal ikan langganan belum juga sampai, maka dengan terpaksa mereka menunggu di pelabuhan sambil mencari sarapan pagi. Tepat jam delapan, kapal ikan langganan sudah berlabuh. Juna dan Yah Cut bergegas mengangkut ikan-ikan tersebut untuk nantinya dijual di rumah makan milik Ma Cut. Namun selang beberapa menit, sebuah gempa kuat mengguncang pelabuhan. Air laut naik dan mulai memenuhi daratan. "Juna! Ini bahaya! Ayo pergi!" Ucap Yah Cut. Mereka bergegas meninggalkan pelabuhan. Yah Cut mulai menyalakan mobil bak terbuka yang dipenuhi ikan-ikan itu. Namun saat Juna hendak mencapai mobil, seorang anak kecil berteriak meminta tolong dari balik sebuah tumpukan keranjang ikan. "Mama! Tolong mama!" Teriak anak itu. Saat Juna melihat kearahnya, terlihat seorang ibu tertimbun kayu-kayu bangunan. Tanpa berpikir panjang, Juna berlari ke arahnya. Namun saat Juna sampai di tempat, air sudah naik jauh. Kapal-kapal besar sampai di daratan. Mata Juna terbelalak, melihat keadaan sekitar yang porak-poranda. Juna teringat soal istrinya di rumah yang tadi pagi baru ia cium, ia teringat soal keluarganya di Bandung yang sedang menunggunya kembali. Dalam hitungan detik, air tinggi menenggelamkannya. Juna terseret kesana kemari oleh aliran air yang tidak menentu. Lalu matanya terpejam, "maafkan aku, aku tak bisa kembali.".
Kania dan keluarganya di rumah Ma Cut berhasil diungsikan ke dataran yang lebih tinggi, namun dalam hatinya tidak bisa lepas dari sang suami yang berada di pelabuhan. Dalam perjalanan, tubuh Kania melemah dan otaknya mulai berhalusinasi. Ia melihat sebuah cahaya putih menghampirinya, terdapat seorang pria di sana. Pria itu menghampirinya, menciumnya dan tersenyum kepadanya. Lalu pria itu mengelus perutnya seraya berkata "Ajari ia menjadi seorang yang bertanggung jawab, yang tahan dengan kejamnya dunia, dan yang bisa menemanimu selalu." Lalu cahaya itu menghilang. Kania terbangun, dan menangis sekencang-kencangnya. Beberapa hari kemudian, Kania dipulangkan ke Bandung ditemani Ma Cut. Saudara di sana menyambutnya dengan duka. Kania masih belum dapat kabar perihal suaminya, dan itu membuatnya hidup dengan kekhawatiran.
Beberapa hari berlalu, akhirnya kabar soal Juna sampai ke telinga istrinya. Kabarnya jasad Juna akan dikirimkan esok hari. Kania menanti hari esok dengan tangisan, mata yang sudah sembab dan kantung mata yang menghitam tidak menghentikan tangisnya sama sekali.
Esok yang ditunggu telah tiba, jasad Juna sampai di rumah tepat jam empat pagi. Perlahan Kania menghampiri suaminya, ia mencoba untuk tegar. Ia buka kain putih yang menutupi wajah suaminya yang sudah pucat dan keriput. Tangisan yang sudah ia tahan pun berhasil mendobrak keluar. Kania sudah tidak bisa menahan semua pilu yang menyesakkan dadanya.
Jasad Juna akan segera dishalatkan dan dikuburkan pagi ini. Semua saudara, kerabat, dan sahabat-sahabat memenuhi rumahnya dan mengikuti semua proses pemakaman. Jasad Juna pun akhirnya dimakamkan. Kania sudah tidak lagi bisa melihat wajah yang selalu terlihat serius itu. Wajah yang mengkerut ketika Kania sedang sakit, wajah yang tersenyum lebar ketika Kania memberikan buku-buku yang Juna cari, wajah yang pertama dilihatnya ketika terbangun, dan wajah terakhir yang ia lihat sebelum tidur. Namun kini wajah itu telah tersenyum di surga.
"Aku akan selalu, dan tetap mencintaimu. Arjuna Citrakala." Ucap Kania saat terakhir kali melihat wajah suaminya. "Baik-baik di sana, suatu saat nanti izinkan aku menemanimu lagi." Lanjutnya.Juna kecil telah lahir untuk melihat dunia. Anak laki-laki itu diberi nama Ananda Citrakala. Ia tumbuh dewasa dengan sangat tampan. Sekilas memang mirip sekali ayahnya. Kania selalu menceritakan kepadanya soal ayahnya, yang di matanya selalu menjadi lelaki tampan dan gagah. Setiap kali Kania menceritakan soal Juna, wajahnya selalu bersinar dan matanya berbinar-binar. Seperti sedang bercerita soal pangeran tampan yang menyelamatkan putri kerajaan dari tangan seekor naga.
"Juna, terimakasih telah menjadi bagian hidupku yang sederhana ini. Kesetiaanku hanya untukmu."
Kania Carani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rindu
Romance"Kalau memang berjodoh, pasti ada saja cara semesta mempersatukan kita. Bahkan setiap pertemuan dan perpisahan pun memiliki takdirnya sendiri, kan?" 17 Agustus, 2000. Arjuna Citrakara. Seorang pemuda gagah dan idealis yang baru saja kembali pulang k...