tigabelas

633 84 29
                                    

Pasangan suku Maya hari itu membuat gempar dunia; berkoar kalau siklus penuh penciptaan alam semesta akan berakhir, hanya menunggu waktu saja sebelum bumi meledak dan langit runtuh, kiamat. Sebagian orang heboh. Persiapannya tak tanggung-tangung; membuat bangker, mengabiskan puluhan lembar uang berlomba mengosongkan rak-rak makanan olahan di supermarket, lilin berjaga kalau dunia jadi gelap, atau yang tadinya lupa jalan menuju tempat ibadah, tiba-tiba kemana-mana bawa kitab suci, belum lagi baju hangat dan selimut kalau-kalau matahari cahayanya mati.

Sayangnya, kehebohan itu tidak diijinkan masuk pagar SMA N 1 Bogor mengingat di dalam saja sudah heboh tanpa harus ditambah isu kiamat dekat; kantin gempar seperti antrian sembako murah setiap jam istirahat−jus jeruk menempati posisi ke dua setelah bakwan jagung mak Sri yang tak ada duanya, yang paling laris diserbu karena ukuran besar dan harga murah, anak-anak perempuan kelas satu heboh bersorak mencari perhatian anak-anak bola yang mengambil alih lapangan basket jadi tempat mereka tebar pesona, beberapa guru yang asik membicarakan materi kurikulum terbaru, dan Kamala yang masih sibuk dengan tugas resensi-nya yang tak selesai dikerjakan semalam di perpustakaan, yang wajahnya merah padam kesal pada sekelompok penyanyi dadakan yang tak sadar suaranya sumbang sambil menggenjreng gitar asal-asalan di belakang perpustakan. Mengganggu.

Kamala kepingin tidur. Matanya sudah tidak kuat, mau menyerah, tapi lembar folio di atas meja belum selesai dikerjakan, dan masih ada beberapa halaman Padang Bulan yang ingin dia baca ulang.

Sepuluh menit saja Kamala ingin tidur, setidaknya bisa mengurangi warna merah di matanya. Jadi ketika tugasnya selesai tiga menit yang lalu, gadis itu ingin bergegas kembali ke kelas. Sayangnya, bola yang melayang indah ke arahnya saat dia berjalan di pinggir lapangan lebih menyeramkan ketimbang suara bel masuk yang meraung-raung. Parahnya, Kamala tidak sadar dan tak punya kesempatan menghindar.

"Eh, sorry, gue nggak sengaja."

Suara anak lelaki itu cukup keras, tapi Kamala tidak mau menoleh ke arahnya.

"Pipi lo merah,"

Kamala melenggos. Bola sepak bola memang telihat halus, tapi saat mengenai wajah, itu sakit.

"Sumpah, gue beneran nggak sengaja."

Gadis itu benci situasi ketika dia marahtapi rasanya malah mau menangis. Belum lagi malu karena jadi tontonan gratis anak-anak di sekelilingnya.

"Mau gue anter ke UKS?"

Kamala baru bilang, "nggak perlu," ketika suara lain, dari anak lelaki yang lain memotongnya.

"Kalau lo terus ngebacot, gue buang bolanya ke mulut lo."

Rasanya sudah lama Kamala mendengar suara Bhanu, terakhir tiga minggu yang lalu. Tapi rasanya baru kemarin dia menggambar Bhanu dengan dua sayap malaikatnya, padahal itu sudah hampir dua tahun. Kamala masih ingat ekspresi Bhanu saat itu; tenang, wajah damai, tak ada kerutan di dahinya. Bedan dengan Ekspresi Bhanu saat ini, berdiri menjulang tinggi di sebelahnya, anak lelaki itu terlihat seperti Samael dalam mitologi Palestina kuno.

Kamala dengar, "Weh, ada pahlawan kesiangan." Lalu disahut dengan, "Kalau yang maju dia, gue angkat tangan."

Bhanu maju selangkah, siluetnya menutup cahaya matahari mengenai wajah Kamala. Gadis itu panik. Dia percaya kalau Bhanu sering terlibat perkelahian di sekolah, pernah sekali dengan sekolah sebelah. Tidak pernah kalah. Tapi dia hanya mendengar ceritanya saja, tidak melihat langsung, dan sampai kapanpun dia tidak mau melihat Bhanu berantem. Dia tidak bisa.

Berdiri dengan kepala sedikit pusing, Kamala meninggalkan dua anak lelaki  dengan hormon testosteron berlebih tersebut. "Nggak usah over."

Commuter Line [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang