Menurut Kamala, esensi keberadaan baru bisa di ukur saat perpisahan. Saking kuatnya dogma itu, Kamala selalu membayangkan perpisahan dengan adegan sedikit hiperbolis −semua orang yang datang padanya dan membuat dampak di hidupnya, indah atau tidak, membuatnya tidak lagi ingat seperti apa hidupnya tanpa keberadaan mereka. Semua pasti berubah, mau tidak mau. Semua pasti berpisah, ingin tidak ingin. Dan semua pasti berakhir, siap tidak siap.
Sejak Kamala memilih naik commuter line ketimbang diantar supir papa tiap pagi, sejak saat itu Kamala sadar, kalau keberadaan Bhanu cukup berdampak dihidupnya. Bhanu bukan temannya, hubungan mereka jauh dari kata dekat, Kamala tak punya alasan untuk bicara padanya, tapi sekali bicara, emosinya selalu meledak-ledak.
Bhanu jadi yang pertama membuat pipinya terasa panas hanya karena berserobok pandang, yang pertama membuat detak jantungnya bekerja di atas normal, yang membuat perutnya terasa penuh, mulas. Laki-laki pertama yang mencuri perhatiannya dari Papa. Lelaki pertama yang membuatnya marah hanya karena punya luka lebam di bawah mata selain mas Prana, yang membuatnya tergugu sebelum akhirnya menangis diam-diam di toilet sekolah karena cemburu. Dua tahun delapan bulan dan dia tidak bisa mengatakan kalau dia tidak tertarik lagi pada Bhanu. Dengan atau tanpa pembelaan kalau anak lelaki itu nakal, bukan lagi tipenya, Bhanu tetap cinta pertamanya.
"Gue sedih deh, Kam, perasaan baru kemarin gue masuk SMA, kok udah lulus aja ya."
"Iya, nggak kerasa."
"Lo nggak bakalan lupain gue, kan?"
"Nggak bakal."
"Janji, ya."
"Iya."
"Kalau lo udah punya temen baru, yang mungkin lebih baik dari gue, lo tetep nggak boleh lupa sama gue, lo harus sering balas chat gue, lo juga harus tetep mau denger curhatan gue."
"Iya, Ra, tenang aja, gue nggak bakal lupa sama lo."
"Awas aja bohong. Gue samperin ke rumah."
"Bawel, ih. Orang kita juga masih satu kampus, cuma beda jurusan doang."
Yara yang biasanya anti mellow, jadi yang paling histeris waktu pengumuman kelulusan, mondar-mandir kesana-kemari sambil sesegukan minta tanda tangan. Kamala yang awalnya tak tertarik bajunya di coret-coret, berkat Yara bajunya sekarang penuh tanda tangan teman sekelasnya.
"Hey,"
"Galih,"
"Boleh minta tanda tangan lo kan?"
"Bayar, ya?"
Hubungan Galih dan Kamala tidak ada perubahan. Kamala respek pada Galih, Galih tidak memaksakan perasaannya pada Kamala. Mereka berteman. Kadang bertukar pikiran. Dilihat dari posisi tanda tangan Kamala di baju Galih yang berdesakan dengan tanda tangan teman-teman lainnya, Galih sepertinya sudah tidak mengistimewakannya.
"Jadi ambil yang di luar, Kam?"
"Sepertinya."
"Keren dong. Kalau udah sukses jangan lupa sama gue ya."
"Tersanjung gue di doain sama sang juara umum. Thanks ya."
Dulu, Kamala pengen cepet lulus SMA, jadi anak kuliahan, terus mau nyoba kerja part time, biar mas Prana berhenti panggil dia anak kecil. Waktu beneran lulus, dia ngerasa nggak rela. Bukan karena harus melepas masa muda, tapi karena dogma perpisahan yang sudah mendarah daging itu.
Ditemani hujan yang mulai reda, hanya gerimis kecil tersisa, pelangi indah yang terbentuk di langit timur, langkah kaki Kamala terasa berat. Commuter line yang baru dinaiki sudah melaju, meneruskan perjalanannya sampai tujuan akhir stasiun Jakarta Kota.
"Kamala,"
Tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara. Meski jarang bicara, tapi suara itu tidak asing. Suara itu selalu terngiang-ngiang di telinganya sejak pertama kali dia mendengarnya.
Kamala kira, dia tidak akan melihat Bhanu lagi. Acara sebelum coret-coret itu yang terakhir kali, waktu kepala sekolah memberi pengumuman kelulusan. Ternyata tidak, mengulang adegan yang sama, duduk di kursi besi yang dingin, membelakangi jalur kereta, Kamala terperangkap oleh dua netra sejernih embun.
"Selamat, ya, masuk lima besar."
"Hm, makasih." Bukan perjuangan yang gampang.
"Gue juga minta maaf,"
"Buat apa?"
"Tingkah gue yang nyebelin, yang sering bikin lo kesel."
Kesel enggak, kecewa iya.
"Nggak perlu ada yang dimaafin."
"Nggak, gue tetep ngerasa perlu minta maaf sama lo. Juga bilang makasih." Belum sempat Kamala membalas, Bhanu melanjutkan, "gue nggak tahu apa kita bakal ketemu lagi, mumpung masih punya kesempatan, gue cuma mau bilang kalau omongan lo di depan perpustakaan waktu itu cukup ngena, bikin gue sadar. Gue emang anak yang nggak tau diri."
"Aku nggak ada maksud buat..."
"Gue nggak sakit hati, tenang aja, Gue malah makasih."
Kamala tahu kenapa pelangi hanya datang ketika gemuruh petir dan hujan deras berhenti, karena adanya pembiasan cahaya, sebuah fenomena alam yang menunjukkan bahwa selalu ada kebahagiaan di balik kenyataan yang mengerikan.
"Lo mau tanda tangan di baju gue nggak?"
Membubuhkan tanda tangan di seragam bersih polos Bhanu, Kamala mengerti esensi perpisahan yang sebenarnya; hargai setiap detik kebersamaan.
"Kalau gue udah jadi orang bener, lo mau kan jadi temen gue?"
***
a/n :
Dan berakhirlah kisah SMA Kamala-Bhanu. Waktunya menyambut hidup yang lebih 'berat'.
Buat kalian yang udah lulus SMA? gimana kesan setelah jadi anak gede? Jangan bilang pengen balik ke SMA gara-gara belum mau move on.
Oh iya, aku buat tantangan untuk diri sendiri, yaitu selama seminggu ini aku bakal update tiap hari. Belum tahu sih sukses atau enggak, cuma aku mau berusaha. #doakan
KAMU SEDANG MEMBACA
Commuter Line [completed]
RomansaKatanya, jatuh cinta untuk pertama kalinya itu sederhana, murni, dan tanpa tendensi atau paksaan. Rasanya menyenangkan dan tanpa beban, bahkan bisa buat kita tersenyum hanya dengan mengingat dia, juga bersikap bodoh untuk mendapatkan perhatiannya. D...