dua puluh

423 59 23
                                    

"Anjir, tulang gue rasanya remuk semua!"

Putra terus-terusan mengeluh; dari jari-jemari tangannya yang keriput sehabis cuci baju, hidung mampet karena kedinginan, antrian setrika yang panjangnya mengalahkan gerbong kereta, belum lagi mulut menguap hampir setengah menit sekali. Bhanu setuju, tapi poin ketiga sedikit hiperbolis. antriannya tidak sepanjang itu, hanya sembilang orang, tapi Putra nya saja yang tidak sabaran.

Minggu pertama bulan Agustus memang berlalu dengan brutal; bangun pukul empat tiga puluh, sholat subuh, jogging, sarapan, apel pagi, jam komandan, pelajaran di kelas, apel siang, makan siang, kegiatan korpes taruna, makan malam, belajar mandiri, apel malam, tidur jam sepuluh. Minggu kedua lebih keras, hampir seluruh waktu belajarnya di habiskan di luar ruangan; jasmani militer, latihan kematraan, masuk hutan.

Bhanu tidak lebih baik dari Putra, otot pundaknya kaku, belum lagi pergelangan kakinya yang terkilir belum sembuh benar. Mandi air panas juga tidak membuatnya merasa lebih baik. Dia butuh tidur lebih banyak. Tapi tidurnya kurang dari lima jam. Kalau boleh memaki-maki, isi Ragunan mungkin sudah pindah ke Maguwo sekarang.

"Dan kita masih harus beres-beres kamar?" Putra sudah meninju bantalnya, kesal. Dua temannya yang kebetulan satu kamar bersama mereka, hanya duduk lemas di atas kasur. Mereka sama remuknya seperti Putra.

"Beresin besok aja, gue ngantuk," saran Bhanu. "Sekali-kali kena hukuman nggak papa."

"Mbah mu sekali-kali!" Putra mencibir. "Siapa yang tadi kelas malam push up sepuluh kali?"

Bhanu meringis.

***

"Nu?"

"Hm,"

"Udah tidur?"

Jam satu lebih tiga puluh menit. Setengah jam yang lalu mereka masih ribut soal beres-beres kamar. Bhanu masa bodoh mereka mau beres-beres, dia butuh tidur. Tapi tidur juga susah kalau Putra masih melek.

"Kaki lo masih sakit?" tanya Putra, suaranya pelan takut mengganggu teman-temannya yang yang sudah terlelap –lupakan soal beres-beres kamar, masih ada hari esok.

"Sedikit."

"Besok izin ke klinik aja, gue temenin. Atau mau ke rumah sakit?"

Modus.

"Nggak perlu, besok sembuh sendiri."

Dua hari lalu kakinya keseleo, kesalahannya sendiri karena tidak mendengarkan instruksi pelatih. Dia tidak berani bilang kakinya sakit, mengeluh minta istirahat, meringis sedikit saja di depan pelatih harus push up sepuluh kali, apalagi sampai pasang wajah kesakitan, memelas, ingin menangis, hukumannya lebih berat, tidak cukup dibentak-bentak saja. Tentara tidak suka ekspresi wajah seperti itu, cengeng katanya. Kalaupun Putra tahu Bhanu sakit, itu karena Putra jeli, Putra tidur di sebelahnya tiap malam, selama satu tahun terakhir.

"Pesiar besok pulang yuk,"

"Pulang Jakarta?"

"Kemana lagi?" sahut Putra, "gue kangen rumah."

Jadwal pesiar minggu depan tidak hanya sehari, karena hari kamis tanggal merah, jadi liburnya sampai hari minggu.

"Liat entar, deh."

"Disini mau ngapain? Yang lain juga mau pada pulang. Mau ngapelin Hasna?"

Bhanu melirik Putra malas. Dia menyesal cerita soal Hasna pada Putra, lebih tepatnya dia menyesal membiarkan Putra mendengar bualan bang Hendra soal perjodohan Bhanu-Hasna. Ujung-ujungnya, selalu dia yang diolok-olok.

"Cie, calon adik ipar Bang Hendra."

"Kampret!"

Putra tertawa, cukup keras sampai dihadiahi lemparan bantalan oleh temannya yang tidur di pojok kamar.

"Kata lo Hasna cantik,"

"Emang cantik,"

"Terus kenapa lo nggak mau?"

Kenapa?

"Karena dia datang di waktu yang nggak tepat?"

"Anjir, bahasa lo." Putra terkekeh. "Bilang aja hati lo udah milik cewek lain. Siapa itu namanya?" Putra pura-pura mikir, "Kam... Kam−"

"Kambing, gue mau tidur. Lo bisa diem nggak?"

Lima menit Putra diam, Bhanu pikir lelaki itu sudah tidur, sampai suara lirih kembali terdengar.

"Nu, Hasna sama Kamala cantikan siapa?"

Hanya dibutuhkan satu detik untuk Bhanu menjawab, "Kamala," dengan sepenuh hati. Kamala yang tercantik.

Commuter Line [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang