empat puluh

670 68 2
                                    

Kamala tidak melihat Bhanu hampir dua minggu, sebenarnya tidak apa-apa, toh dulu dia pernah bertahun-tahun tidak melihatnya, tapi sekarang rasanya beda; mereka sudah sama-sama tahu perasaan masing-masing. Dia sedikit menyesal kenapa jual mahal waktu itu, tapi kalau tidak begitu, predikat bucin akan melekat seumur hidup padanya.

Sisi positif dari sikap jual mahalnya: dia bisa berpikir tenang, isi kepala dan hatinya tidak terus-terusan perang -bikin pening, mereka bisa dikontrol sehingga tidak ada satu sisi yang dominan -tidak bohong, tapi hati seringnya jadi serakah, tidak mau kalah.

Bhanu benar-benar memberinya waktu untuk berpikir, dia pergi jauh ribuan kilo ke Natuna -Yara yang bilang waktu laki-laki itu datang mencari Julian ke rumah mereka untuk pamit. Dan Kamala masih belum memutuskan apa mau menerima Bhanu; yang artinya mereka berdua sama-sama setuju dengan konsep hubungan jarak jauh -terasa jauh dari pandangan mata, tapi serasa dekat di hati, atau merelakan Bhanu meraih bahagianya sendiri tapi bukan dengan dirinya.

Hari Jum'at sore, lima belas menit sebelum jam kerjanya berakhir, telepon di meja Kamala berdering. Di luar hujan deras, sesekali terlihat kilatan petir dari kaca jendela yang disusul suara gemuruh keras. Dia sudah kirim pesan ke Jhoni kalau dia ikut pulang bareng.

"Ya?" sapa Kamala pada orang di seberang sambungan sambil memakai jaket.

"Mbak Kamala ditunggu temannya ya di lobi," kata resepsionis meja depan.

"Siapa?"

"Tadi, sih, bilang namanya Bhanu."

Suara di ujung sambungan masih terdengar, tapi Kamala meletakkan begitu saja gagang telepon tanpa menunggu percakapan diakhiri. Berjalan cepat sambil masih membenarkan posisi jaketnya, gadis itu tidak sabar menunggu pintu lift terbuka, lalu memutuskan turun  lewat tangga darurat, tapi baru dua lantai kakinya sudah seperti jelly, mendadak lemas, mau tidak mau dia menunggu tiga puluh detik sampai pintu lift di lantai empat terbuka.

Bhanu duduk di kursi tunggu, kedua sikunya bertumpu pada dua lututnya, sementara jari-jemari tangannya mengepal jadi satu, pandangan matanya silih berganti menatap lantai marmer dan air hujan di luar. Mengatur nafas, Kamala berjalan menghampirinya dengan langkah pelan, saking pelannya sampai suara sepatunya sendiri tidak bisa dia dengar. 

"B-bhanu," cicitnya pelan.

Bhanu mendongak seketika dan berdiri, senyumnya kecil, lalu perlahan melebar, membuat beberapa kerutan muncul di ujung matanya. Senyum paling indah yang pernah Kamala lihat. Paling cemerlang. Paling menggetarkan. "Thank, God," ucap Bhanu, sambil melarikan jari tangan kanan menyugar rambutnya. "I missed you so much."

Bhanu tidak tahu kalau Kamala juga merindukan laki-laki itu sampai kepalanya pusing dan dadanya nyeri.

Rasa percaya diri yang ditunjukkan Bhanu lewat senyumnya yang lebar, tiba-tiba hilang dengan cepat seperti senyum yang tak lagi tersungging di bibirnya saat Kamala tidak menunjukkan reaksi  apa-apa. "Nggak suka ya gue datang ke tempat kerja lo?" tanyanya, dengan nada panik yang membuat Kamala menggelengkam kepalanya cepat, ujung rambutnya yang dikucir kuda mengenai wajahnya.

"Nggak suka?"

"Suka!" sahut Kamala, menggigit bibir bawahnya, menatap lantai, malu.

Satu sudut bibir kanan Bhanu naik ke atas, "gue bawa motor, niatnya mau anterin lo pulang, tapi malah hujan. Sorry ya,"

"Tunggu hujan reda aja,"

"Hah? Lo mau gue anterin pulang?"

Kamala memutar mata. Bhanu tertawa kecil.

"Kam," Kamala menoleh ke belakang saat namanya dipanggil; Jhoni. "Jadi pulang bareng gue?" Kamala menepuk kening, lupa kalau dia janjian pulang bareng dengan Jhoni. "Tas lo mana?"

"Masih di atas," jawab Kamala.

"Ambil sana, gue pinjam payung dulu ke sanitasi."

Dua langkah Jhoni ke ruang sanitasi, Kamala memanggil, "Jhon," Jhoni menoleh, mengangkat dagu, "nggak jadi bareng ya, gue dijemput." Jhoni mengangkat tangan kananya, membuat tanda OK dengan ibu jari dan jari telunjuknya.

"Khem," Bhanu berdehem di dekat telinga Kamala. Kamala tersentak, mengambil dua langkah membuat jarak dengan Bhanu yang tidak tahu sejak kapan begitu dekat.

"Jhoni bukan siapa-siapa, dia cuma teman kerja aja, kebetulan rumahnya satu arah, jadi sering pulang pergi bareng," jelas Kamala tanpa diminta.

"Gue nggak nanya."

Membuang muka, "asem," umpat Kamala pelan.

"Mau kemana?" tanya Bhanu saat melihat Kamala berjalan ke arah lift.

"Ambil tas."

Tak lama setelah hujan reda,  meninggalkan kubangan air di beberapa jalan berlubang, saat jam dipergelangan tangan menujukkan pukul enam kurang sepuluh petang, Bhanu mengajak Kamala pulang. Suasana kantor sudah mulai sepi, beberapa orang masih menunggu jemputan, beberapa masih asik menghisap batang kangker di pos security. Kamala melambai pada Retno, resepsionis yang tadi menelponnya.

Duduk di atas Honda CB biru Bhanu, kedua orang tersebut tak banyak bicara; sesekali Bhanu berkomentar tentang  hiruk pikuk jalanan Jakarta yang macetnya luar biasa, kemudian bertanya soal pekerjaan Kamala, juga sempat mengungkit masa-masa SMA mereka. Kamala yang yang duduk di belakang Bhanu, yang galau antara pegangan pada pinggang Bhanu atau jok belakang yang tak punya besi untuk dipegang,  menanggapinya dengan jawaban singkat, malah lebih banyak tawa sumbang yang teredam suara mesin bus tua yang melaju di sebelahnya.

Sama seperti waktu Bhanu bertanya, "lapar nggak, Kam?" Laki-laki itu harus mengulang pertanyaannya tiga kali karena suara klakson yang bersahut-sahutan.

"Nggak," jawab Kamala.

Bhanu meringis. Dia belum makan sejak siang. "Eh, kopi disitu kelihatannya enak, mau nyobain nggak?" tunjukknya pada kedai kopi di jalan Jendral Sudirman.

"Lagi nggak pengen kopi."

"Ooh,"

Lama kembali mereka diam sebelum Bhanu bilang, "gue dapat tugas ke Iran," saat motor yang ditumpangi masuk kawasan yang tidak begitu ramai.

Nyaris dua menit Bhanu tak mendapat tanggapan, lelaki mengurangi kecepatan motornya lalu menoleh ke belakang ingin melihat reaksi wajah Kamala, tapi gadis itu membuang muka, tak ingin dilihat.

"Berapa lama?"

"Nggak bakal sampai setahun, maksimal cuma delapan bulan."

"Oke," kata Kamala. Itu pekerjaan Bhanu, prajurit negara, satu hal yang membuat laki-laki itu merasa bangga terhadap dirinya sendiri dengan banyaknya pengorbanan yang sudah dilaluinya; keringat yang jatuh, air mata yang menetes, kesakitan yang tetahan.

"Lo berangkat ke Belanda kapan?"

"Tiga minggu lagi,"

"Jaga diri ya disana,"

"Hm."

Kamala ingin bilang, "kamu juga jaga diri, jangan ngilang kaya dulu, kalau ada waktu kirim kabar. Jangan pernah ngerasa sendiri." Tapi tidak bisa, suaranya tercekat di tenggorokan karena menahan tangis.

"Gue suka sama lo, Kam." Itu ketiga kalinya Bhanu bilang dia menyukai Kamala, tapi tiap mendengarnya Kamala mulai panas dingin, perutnya rasanya dibolak-balik. "Gue rasa mulai dari kelas satu SMA, sejak lo suka curi-curi lihat ke arah gue waktu di commuter line. Mungkin dulu sukanya karena lihat muka lo yang mendadak merah, secara gue nggak benar-benar tahu apa-apa tentang lo. Atau bisa jadi karena gue respek sama lo yang suka ngalah ngasih kursi lo buat orang lain. Gue juga suka lihat rambut lo dikuncir pakai pita merah muda gambar hello kitty, lucu, masih ada itu ikat rambutnya?" Bhanu tertawa kecil. Kamala tanpa sadar memukul pundak laki-kali itu, membuat Bhanu tertawa makin keras.

"Tahu nggak, muka lo kadang-kadang  kelihatan kucel banget, kaya kurang tidur. Terus, kadang lo pakai bedaknya tebal sebelah, nggak rata." Pukulan kedua mendarat di tempat yang sama. "Tapi lihat lo nyaris tiap hari, sedikit mulai tahu kepribadian lo, tekad lo, kerja keras lo, gue sadar rasa suka gue nggak sesederhana itu."

Kamala tersenyum. Melingkarkan dua lengannya di pinggang Bhanu, sementara kepalanya dia sandarkan pada punggung laki-kali tersebut, dia bilang, "Kamu dulu juga nggak seburuk seperti yang kamu pikir, kok."


Commuter Line [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang