dua puluh empat

371 58 5
                                    

Putra menoleh ke samping. Jam dua pagi dan dia masih terjaga. Laki-laki yang tidur di ranjang sebelahnya pun masih terjaga, meski kelopak matanya tertutup, tapi tarikan napasnya yang tidak teratur mengatakan hal sebaliknya.

Di luar, hujan deras mengguyur kota pelajar. Sudah seminggu dan rasanya langit belum puas menangis setiap malam. Sama seperti yang dilakukan temannya malam ini, atau malam-malam sebelumnya. Tergugu sendirian, pura-pura tidak merasakan air mata di kulitnya, tapi tahu air mata itu ada, jatuh menetes di atas bantal.

Bhanu berubah. Putra tak bisa memasuki dunia Bhanu yang baru. Benteng tebal dibangun kokoh layaknya pembatas, setengah mati dia berusaha masuk ke dalam kepala laki-laki itu, mencari tahu apa yang membuat temannya berubah. Putra mencoba, sampai dia menyerah, merasa tak bisa melewatinya.

Bhanu masih tersenyum, tetawa kecil saat bang Hendra melucu. Tapi Bhanu lebih sering melamun, menatap foto dalam bingkai yang ditaruh di meja belajar dengan mata berkaca-kaca.

Setiap pagi Putra akan mendapati Bhanu bangun lebih awal; kadang hanya duduk di tepian kasur, sambil menundukkan kepala, menatap lantai, seolah ada berlian jatuh di bawah kakinya. Seringkali, dia mengambil seragam SMA nya, menatap lekat tulisan tangan yang ada di atas saku bagian kiri.

Carpe diem.

Bhanu pernah mengatakan padanya kalau tulisan itu adalah mantra. Mantra yang akan membuat harinya cerah. Dulu, Bhanu menatap tulisan tersebut dengan mata bersinar. Sekarang, seolah air panas menganak di pelupuk matanya.

Bhanu ada, berbaring di ranjang di sebelahnya, pura-pura tertidur. Tapi itu bukan Bhanu yang Putra kenal. Bhanu yang dia kenal, menghilang. Belum ingin ditemukan.

***



psst....

Ini singkat. dan sediki gaje.

Dan untuk sementara, ucapkan selamat tinggal pada Bhanu. Ini chapter terakhir di bab ke dua.

 

Commuter Line [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang