dua puluh tiga

396 64 10
                                    

Sembilan belas September, Bhanu bangun lebih pagi dibanding biasanya, pukul tiga kurang tujuh menit. Udara dingin di kota Bandung membuatnya tak bisa nyenyak tidur, selain karena selimut tipis yang dikenakan juga karena perasaan nervous yang menggelitik perut.

Mama dan mbak Gita sudah janji akan datang hari ini, tidak yakin dengan papa, jadwal terbangnya yang kadang berubah-ubah tidak bisa membuatnya berjanji. Bhanu memang tidak sering melihat papa, setelah masuk akademi militer bisa dihitung jari dia bertemu dengan ayahnya.

Saat sarapan, penampilan Putra tidak lebih baik darinya. temannya itu berulang kali membuang napas dan melempar senyum was-was pada Bhanu. Yel-yel sersan taruna berulang kali di nyanyikan dengan nada lirih.

Setelah kurang lebih satu bulan, hari ini hari terakhir pendidikan  paradasar nya di Lanud Sulaeman Bandung. Sebagai penutup, dia dan sersan taruna angkatan 176 akan melakukan terjun payung yang pertama. Bang Hendra sudah memberi aba-aba dari jauh, menyuruh mereka berbaris.

Perlengkapan sudah disiapkan, hanya diberi waktu lima belas menit untuk mereka mengenakan perlengkapannya masing-masing.

"Masih takut, Put?" tanya Bhanu, menyadari wajah Putra sedikit pucat.

"Asal bukan gue yang disuruh loncat pertama, gue bakal hidup."

Satu tahun yang lalu, Putra membuat pengakuan pada Bhanu kalau dia sebenarnya takut ketinggian.

"Malu sama otot tangan mu, Put," komentar bang Hendra waktu mengecek kelengkapan yang dikenakan Putra.

Bhanu tertawa, yang kemudian dihadiahi pelototan oleh bang Hendra. "Jangan ketawa kamu," tegurnya, "kaya sudah benar saja." Sejak Bhanu mengatakan kalau dia tidak tertarik memacari Hasna, bang Hendra jadi sedikit kejam padanya.

"Dengeri tuh kata kakak ipar."

Bhanu melengos. Deru pesawat terbang terdengar keras. Angin dari baling-baling membuat dia menundukkan kepala, menghindari debu masuk ke mata.

Baris-berbaris, pasukan taruna itu berjalan ke ramp door pesawat. Bhanu berada di depan Putra, ingin menoleh ke belakang, tapi Jump Master melototinya. Setelah semua duduk, ramp door  pesawat ditutup, siap take off.

"Gue pengen kencing, Nu."

"Tahan sebentar, keluarin entar pas lagi terjun."

"Sialan. Gue siriusan."

"Iya, gue ngerti. Kantung kemih lo emang udah bocor."

Niatnya melucu, mengurangi ketegangan, Bhanu malah mendapat tonjokan dilengannya.

Sebenarnya, siapa yang tidak takut? Kemungkinannya, melakukan terjun payung itu resikonya tinggi, kalau nggak patah kaki, ya mati. Bhanu juga deg-degan, tapi kalau dibandingkan waktu ketemu Kamala beberapa bulan yang lalu, deg-degan hari ini bisa dibilang normal.

Dengan kecepatan angin enam not dari arah barat, Bhanu jadi taruna pertama yang melompat dari pesawat Hercules.

***

"Mama sehat?"

Mama mengangguk. "Kamu sehat?"

"Sehat, kok."

Bhanu tidak kaget kalau mama jadi drama queen setelah mereka bertemu.

Yang kedua ditanyakan mama adalah, "ini kenapa muka kamu jadi gosong gini sih, dek?" Mama mendadak amnesia kalau anaknya bukan bintang iklan produk kecantikan. "Ini kenapa lagi?" tanyanya. menyentuh bekas luka di rahang bawah bagian kanan.

"Biasa, ma, jagoan."

Mama mencibik. "Coba mama liat."

Bhanu tertawa. Untung mamanya tidak melihat waktu Bhanu jatuh saat panjat tebing, bisa pingsang.

Commuter Line [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang