14. Hari Ketiga

128 29 16
                                    

Helai kedua dari benang merah itu terjatuh begitu saja, Jiyeon dan Mingyu melirik pada satu helai yang berharga itu tidak lagi tergabung bersama dengan kelompoknya. Mereka meringis nyeri, ini sudah dua hari mereka lewati dengan tidak mendapatkan hasil apapun.

Waktu itu semakin dekat, hari dimana keduanya kehilangan orang yang mereka cintai semakin berjalan maju.

Jiyeon beranjak dari duduknya, dia menatap pada layar laptop didepannya. Gadis itu kembali mendudukan dirinya, tangannya terlihat lincah membuka sesuatu yang sepertinya sangat penting. Dia melirik pada jam yang menunjukkan pukul 6 pagi.

Ini adalah hari ketiga mereka, Jiyeon berusaha mengingat hari-hari yang sempat dia lalui sebelum hari yang teramat ingin dia lupakan itu tiba.

Jiyeon meraih ponsel yang tergeletak di samping laptopnya, dia mencari kontak seseorang dan menghubunginya.

"Mingyu ini hari dimana aku melihat kak Jungkook berada di taman bersama Nancy."

[Kamu yakin?]

Jiyeon melirik pada tanggal yang tertera di kalendernya, dia membuka laci meja belajarnya meraih dua buah tiket bioskop yang kemarin Jungkook berikan untuknya.

"Yakin, aku tahu hari ini kak Jungkook melanggar janji untuk pertama kalinya."

Jiyeon memejamkan matanya merasakan perasaan nyeri saat mengingat hari dimana seluruh perasaannya seperti terpecah menjadi banyak hal.

Ini hari dimana dia mulai mencurigai Jungkook, yah karena setelah hari ini Jungkook mulai bersikap seperti menjauhinya.

[Baiklah kita ketemu di danau! Hari ini ada sekolah?]

"Aku libur, dimana tempat Kyulkyung menghabiskan waktu?" tanya Jiyeon pada Mingyu disebrang sana, dia seperti mengerti apa yang ingin Mingyu minta darinya.

[Gue kirimin alamatnya. Enggak usah maksain dek gue Kyung enggak nyembunyiin apapun.]

"Cih! Yaudah!"

Jiyeon mendecih pelan mendengar perkataan Mingyu mengenai Kyulkyung rasanya dia pun ingin seperti itu mempercayai orang yang dicintainya tanpa sedikitpun merasa curiga padanya.

Dia mencintai Jungkook namun diapun ingin bebas dari rasa curiga yang begitu dia takutkan akan membunuh rasa cintanya sendiri, Jiyeon sangat takut semakin besar cinta yang dia berikan pada Jungkook maka rasa sakit yang mungkin akan dia dapatkan pun semakin begitu besar.

Rasanya masih ingat dalam benaknya bagaimana histerisnya dia saat melihat jasad Jungkook dikebumikan. Masih begitu jelas dalam ingatannya jerit tangis kepedihannya saat tanah-tanah itu menimbum Jungkook. Jiyeon tidak akan pernah lupa bagaimana pahit nan getirnya luka yang dia terima akibat perpisahan yang begitu menyedihkan.

***

Kadang ada hal-hal yang tidak terduga terjadi dalam hidup, alur yang menurut kita cukup indah walaupun tidak seindah cerita orang lain entah kenapa bisa berubah menjadi mimpi buruk yang menghancurkan semuanya.

Jungkook terdiam menatap kosong lembar kertas putih ditangannya, kehidupan sempurna yang dia miliki seperti luluh lantah karena satu kebenaran yang terdapat di secarik kertas itu. Dia memalingkan wajahnya menatap pada bingkai potret keluarga besarnya.

Senyuman getir terlukis dari wajah tampan pemuda berusia 20 tahun itu manik tajamnya menyapu pada wajah kedua orangtuanya, dia melihat sosok ayahnya yang tersenyum bangga di dalam potret, sekilas pria itu terlihat begitu bahagia karena telah memilikinya lalu pandangannya beralih pada wajah ibunya yang tersenyum begitu cerah. Jungkook berdesir nyeri, tanpa dia lihatpun Jungkook dapat merasakan bagaimana bersyukurnya ibunya memiliki dia.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang