07. Lie

6.1K 796 72
                                    

A bit boring, but happy reading!

Sepulang dari Jogja, mas Rian kembali latihan di Ciumbrella. Gue pun menjalani rutinitas sebagai penerjemah. Kadang enak juga, soalnya sering di ajak makan klien. Tapi gak enak kalau udah ribetnya. Haduh.

Ak tau tapi ak diam.

Oh iya, hari ini katanya ada salah satu atlet badminton yang mau kunjungan ke Indonesia juga. Dalam rangka liburan. Selain bahasa Korea, gue nyambi sebagai penerjemah bahasa Mandarin. Dan kali ini gue dapat tugas jadi tourguide atlet dari Tiongkok.

Bisa tebak siapa?

Gue bahkan syok parah waktu dapat form kliennya. Mau bilang sama mas Rian, tapi takut malah disangka aneh-aneh.

Tapi gue rada seneng, ini soalnya salah satu pemain badminton favorit gue juga. Rezeki anak soleh gini ya, bisa dapet kliennya kayak dia.




"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya mas Rian

Gue yang lagi fokus main handphone, langsung nyembunyiin handphone gue.

"Ada yang ngirim lawakan kok mas,"

"Bohong ya kamu? Tadi aku liat foto cowok." kata mas Rian lagi.

Ah gilak, gue degdegan takut ketauan. Bisa berantem nanti.
Tumben banget mas Rian kepo, biasanya gak peduli gue mau cekikikan juga.

"Kamu aneh,"

"Aneh apa mas Rian? Aku biasa aja kok." elak gue.

Mas Rian ngeliatin gerak-gerik gue sekarang. Jadi gue terpaksa menutup chat dengan Mariska, rekan kerja gue.

"Mas Rian belum mau pulang ke asrama?" tanya gue

Mas Jom melirik ke arah gue dengan heran, dan berakhir dengan dia menatap gue.

"Kamu ngusir aku?"  tanya mas Rian dengan sedikit ragu.

"Enggak mas, ya kali aku ngusir kamu."

"Kamu nyembunyiin sesuatu dari aku ya?" tanya mas Rian lagi, dan kali ini nadanya serius.

Gue jadi agak takut, karena pertama kalinya mas Rian kayak gini ke gue.

Biasanya dia lebih banyak diam dan gak mau ikut campur masalah yang bukan tentang hubungan kami.

"Aku— "

"Belum mau ngaku juga?"

"Aku gak nyembunyiin apapun mas, serius." elak gue.

Maafin aku bohongin kamu mas.

"Aku pegang omongan kamu. Semoga kamu gak bohong sama aku." lanjut mas Rian.

Gue udah panik, cerita gak ya?

"Mas,"

"Ya?" akhirnya gue melihat senyuman dia, yang hari ini belum gue liat.

Gue ragu, bilang atau enggak? Tapi gue gak mau tiba-tiba menghilang daj nantinya dia malah marah sama gue.

"Aku ada kerjaan ke Bali selama 3 hari. Boleh?" izin gue ke mas Rian.

Gue beneran bimbang, dan gelisah. Mas Rian bakal gimana reaksinya, apalagi gue bakal kerja jauh dari pengawasan dia.

"Ke Balinya sama siapa aja?"

"Sama kliennya,"

"Berdua aja?"

Gue menggelengkan kepala. Ya kali berdua, di Bali tuh banyak orang kan ya?

"Ada tim juga disana, aku sebagai tourguide aja." jawab gue

"Yang namanya tourguide, berarti kamu bakal nemenin klien itu terus kan?" ujar mas Rian sambil menatap gue tajam.

Hari ini kita berdua gak ada manis-manisnya. Yang ada cuma ketegangan satu sama lain. Karena ngerasa ada yang aneh dan berubah.

"Iya mas." jawab gue pasrah, pada ujungnya gue pasti kalah kalau debat sama mas Rian.

"Cowok atau cewek?" tanya mas Rian.

Gue berasa diinterogasi gini. Mas Rian beneran udah gak pendiem lagi, dia sekarang berani speak up.

"Cowok,"

"Kok tumben ambil klien cowok? Yang lain sibuk?" kata mas Rian dengan nada sedikit sinis.

Iya gue tau dia bete, dia cemburu. Tapi gue bahagia, gimana dong?

"Aku juga pernah kok ambil klien cowok mas. Bukan karena kenapa-kenapa." tegas gue

Gue gak mau gue dan mas Rian salah paham karena masalah sepele.

"Dia udah punya pacar atau istri?" tanya mas Rian lagi dan lagi.

"Ya mana aku tau mas, ketemu dia juga belum." jawab gue

Padahal gue udah pernah ketemu dia waktu Asian Games. Maafkan mas.

Tapi mana gue tau atlet tersebut udah punya pacar atau belum. Kalaupun belum, emang gue bisa daftar?

Kan gue udah punya mas Jom. Masa gak bersyukur.


"Lagian mas, aku tuh kerja bukan mau main. Bukan mau pdkt sama dia. Tolong ngertiin kerjaan aku, seperti aku ngertiin pekerjaan kamu." jelas gue sedikit geram

"Jadi kamu gak ikhlas?"

Ampun, sekalinya gak pendiem, dia jadi bawel dan gampang nyanggah ucapan gue.

Gue menghela napas sebentar.

"Bukan masalah kayak gitu mas. Aku ikhlas banget malah. Tapi pekerjaan aku memang menuntut aku berinteraksi sama orang lain. Aku penerjemah mas, bukan patung."

"Lagipula, apa kamu pernah mikir, gimana perasaan aku ngeliat kamu dekat dan berinteraksi sama atlet lain? Apa kamu pikir, aku gak cemburu? Gak bete? Gak marah? Atau aku kadang mikir kayak, kenapa kamu mau sama aku?" lanjut gue dengan penuh penekanan.

Mungkin dalam 4 tahun hubungan kami, ini adalah bertengkar yang cukup besar. Karena biasanya gue atau mas Rian akan mengalah. Tapi kali ini, kita berdua gak bisa buat gak emosi.

"Aku pikir, kamu bisa ngerti posisi aku. Dan satu hal lagi mas, kamu bukan suami aku, jadi kamu gak punya hak untuk mengatur aku." jelas gue.

Dan saat itu, mas Rian jadi diam. Suasana hening, kita masih sama-sama membisu.

Capek,

"Maaf."

Gue menoleh ke arah mas Rian yang memegang tangan gue dengan lembut.

Bahkan gue gak tau, kenapa gue gak bisa baper saat ini.

"Aku capek mas. Aku juga pengen punya karir, dan kalau bisa aku pengen kerja di KBRI. Dan aku lagi merintis perjalanan aku mas."

"Aku sama kayak kamu, sama-sama ingin mengharumkan nama Indonesia. Tapi kita punya cara berbeda bukan? Kita juga punya bidang yang berbeda."

"Cinta itu toleransi."

☀☀☀

"Han, sumpah ya lo tuh beruntung bisa jadi tourguide dia." kata Mariska dengan antusias.

Gue cuma senyum. Gue mengingat satu hal yang berlalu, bahwa gue berantem sama mas Rian gara-gara ini.

"Gue juga gak nyangka sih. Dia salah satu pemain favorit gue juga sih hehe." jawab gue sambil ketawa.

"Parah sih, lo sebagai pacarnya Rian Ardianto, dan sekarang lo sebagai tourguide-nya Chou Tien Chen. Beruntung sekali hidupmu nak." tutur Mariska sambil nepuk pundak gue.

Tiga hari kedepan gue akan menghabiskan waktu bersama Chou Tien Chen di Bali.

Dan gue tinggal menunggu detik-detik mas Rian bilang putus aja. Gue pasrah.

Athlete [Rian Ardianto]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang