FTFE |4.

282 78 20
                                    

Asya merasa bersalah. "Seharusnya gue bisa nahan buat nggak cerita dan mungkin nggak akan begini."

Untuk menghilangkan rasa cemas berlebih. Asya mengambil ponsel yang sedari tadi di charge di dalam loker. Ia membuka web artikel kesehatan.

Aku membuka suara saat Asya telah memfokuskan pikiran ke arah ponsel. "Sya, nanti malam gue nggak ikut ke rumah Kanya."

Asya membenarkan posisi duduknya menatap ke arahku. "Lupain soal Kanya dulu. Gimana tadi, Bu Welly bilang apa? Jangan bilang Lo di skors!"

"Kalau nanya satu- satu, kebiasaan."

"Ya maaf, terus gimana?" Asya penasaran dan meminta Anin bicara mengenai keputusan BK barusan.

Anin mengangkat bahunya "Di skors sekitar seminggu ke depan!"

"Tuh kan, ini semua terjadi karena gue." pelannya.

"Lebay amat santai aja, gue udah kebal sama hukuman." ucapku.

"Kenapa gak ikut ke rumah Kanya? Padahal kan gue kangen quality time bareng kalian."

Aku duduk di samping Asya "Sorry, soal itu ya karena gue mau pindah."

Asya tak mengerti "Pindah? Pindah kemana?"

"Kost-an." jawabku santai.

Asya kaget mendengar jawaban dari Anin. Ia terus saja mengintrogasi di situ aku bagaikan bocah yang sedang di awasi emaknya. "Hah? Lo nggak salah kan Nin? Terus nyokap- bokap lo, apa mereka setuju?"

Ternyata pikiran Asya ada benarnya juga. Jika ia saja merasa kurang srek apalagi kedua orang tuaku. "Gue yakin mereka ngizinin."

"Kenapa harus di kost-an? Itu kan bahaya Nin. Terutama buat kaum ciwi-ciwi seperti kita." dari arah bicara Asya sepertinya ada rasa kekhawatiran.

"Tenang, kalau ada orang yang berniat jahat. Langsung gue gibeng duluan kagak bakal kasih ampun." jelasku.

Asya tak peduli di cap sebagai korban berita. Hanya saja Ia merasa kost-an bukanlah tempat yang aman. Sebab sudah banyak kasus kejahatan yang beredar terjadi disana. "Iya gue tahu Lo jago bela diri. Tapi____ "

Aku hampir saja marah karena Asya terlalu ikut campur mengenai urusan pribadiku dan menerka terlalu jauh.  "Sya, gue tahu apa yang harus dilakuin. Gue cuma minta dukungan bukan pendapat."

Asya bersikeras mempertahankan pendapatnya. "Setau gue keluarga Lo punya lodgement, apartement, dan hotel. Kenapa nggak ambil salah satunya?"

Semua yang dikatakan Asya memang benar. Keluargaku punya segalanya. Tetapi aku tidak ingin jika terus- menerus merepotkan keluarga Suryadininggar. "Gue mau mandiri. Lo tau kan rumah gue gede banget?"

Asya mengangkat sebelah alisnya "Terus hubungannya?"

Aku kembali bersuara meminimalkan emosiku. "Gue pikir tuhan terlalu berlebihan memberikan segala sesuatunya ke gue."

"Harusnya Lo banyakin bersyukur! Masih banyak orang di luaran sana yang kekurangan. Mau makan aja harus ngamen, kerja keras dan kadang ngambil dari tong sampah." saran Asya.

Iya, kalau aja gak di adopsi dulu. Mungkin gue salah satunya diantara nasib mereka yang disebutkan.

"Btw laptop gue mana Sya?" tanyaku.

"Di tas Lo lah!" kata Asya.

"Oke." jawabku sambil mengambil laptop dan earphone yang berada di dalam tas.

Anindita memasang earphone di telinganya. Kemudian memencet data koneksi internet. Beberapa notif massage email tertera tapi belum sempat dibaca. Aku membaca semua email yang masuk.

To: Anindita
From: Alex
You still remember, right? Tomorrow I'm back from USA for you!

Anindita melepaskan earphone-nya. Ia menggeleng tak percaya, bahwa pesan yang di terima saat ini bukan dari Arga melainkan dari masa lalunya. "Sial, gue salah click."

"Kenapa Nin?" tanya Asya bingung.

Rasa benci di mulai pada saat itu. Menyebabkan luka lama seolah terbuka lagi. Amarah tak henti- henti menyala dalam hati. Tanpa sadar ia melemparkan ponsel sampai rusak parah. "Dia harus pergi." teriaknya.

Seisi kelas berhenti dari aktivitasnya dan mengeluarkan ekspresi wajah tak biasa dengan suara frontal yang dikeluarkan oleh Anin.

Lita angkat bicara "Kenapa dia?"

"Tidak tahu." jawab Bagas.

"Mungkin gue rasa dia perlu psikolog atau psikiater." ceplos Megan.

"Udah gue duga." ujar Kristal.

Asya segera angkat bicara, sebelum pembicaraan mereka menyebar kemana-mana. "Anindita cuma kaget, jadi berhenti buat gosip receh nggak jelas kebenarannya."

"Makannya Ta punya mulut dikunci kali-kali. Gausah diurusin! Gak penting juga." kritik Bagas.

"Iya, Gas." pungkas Lita.

"Dia balik Sya, dia?" ucap Anindita dengan pernapasannya tak beraturan seperti memiliki beban yang begitu berat di hidupnya.

"Lo tenang, sekarang cerita. Kenapa?"

Aku memberikan laptop berharap sahabatnya mengerti tanpa harus di jelaskan. "Coba Lo baca!"

"Nin, gue nggak percaya. Ini beneran Alex kan?"

"Iya." Anin segera membereskan laptopnya kembali. "Gue harus balik sekarang." lanjutnya bicara dan Kemudian pergi.

FIRST TIME FOR EVERYTHINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang