FTFE |3.

308 88 20
                                    

Situasi telah aman, Asya segera menemui Anin untuk membukakan gerbang utama. Sialnya Asya telah kebingungan lebih dulu karena tertera puluhan kunci. Ia terus mencoba satu- persatu untuk menemukan kunci mana yang paling benar.

"Gimana Sya bisa?"

"Proses Nin." jawabnya sambil mencoba puluhan kunci sampai akhirnya menemukan satu kunci yang tersisa alhasil gerbang kebuka.

Aku ingin tahu, ide apa yang dipakai Asya barusan? Kalaupun memberikan sogokan rasanya mustahil, yang ada pasti akan ditolak mentah- mentah. 

Kami segera berlari memasuki kelas. Sebelum Guru patroli itu muncul dan hendak menghukum siapa saja yang masih berkeliaran diluar kelas.

Sebenarnya aku sama sekali tak keberatan jika dihukum. Toh, ini memang salahku. Namun tidak untuk Asya. Dia anak yang baik, selalu menghindar dari kata 'hukum'.

Asya merasa lega karena guru patroli tersebut tidak melihat kami. "Untung aja selamet-selamet."

"Hmm... " responku.

Asya membuka percakapan. Dengan semangat ia bercerita mengenai Aldito. Katanya semalem dia memberikan hadiah yang pasti buatnya bahagia. Beginikah rasanya jadi pendengar curhatan orang? Nggak enak banget membosankan.

Sebenarnya aku tidak iri dengan kemesraan mereka. Hanya saja aku merasa kesal. Ternyata sedari tadi Asya meminta cepat -cepat ke sekolah bukan untuk sesuatu hal yang penting melainkan hanya untuk ini? 

"Udah kelar sesi curhatnya?" tanyaku ketus.

"Belum ih Anin! Masih ada lagi." jawabnya begitu semangat.

"Simpen aja, nanti dilanjut di rumah Kanya!" tadinya aku tak akan mengatakan hal ini tapi bagaimana lagi mood sudah terlanjur memburuk.

Asya memasang tampang kecewa "Aelah Anin... "

"Udah ya? Udah!" ucapku mengakhiri curhatan Asya.

"Lah gitu gak seru ah."

"Udah ya, gue ngantuk!" ucapku dengan melipat kedua tangan dan memejamkan mata.

"Dasar tumor kau!" ledek Asya.

Baru saja menikmati suasana kelas yang begitu aman, nyaman dan damai. Si Chika datang bersama antek- anteknya. Melakukan ulah, mengatur sana- sini dengan sikap seolah menjadi seorang penguasa.

"Gerah ya hari ini, karena mataharinya udah pindah." komentar Chika. 

Nori yang rada-rada o'on malah nanya "Emang bisa Chik?"

"Yaampun, noriiii...... Otak Lo tu di pake dikit Napa. Yakali mataharinya bisa pindah." sewot Chika.

Lumayan kan daripada ke bioskop, mending nonton drama mereka. Meskipun kurang laris asalkan gratis. Sing penting duit gak akan miris atau berkurang secara drastis. Awet di dompet serta hidup sejahtera membahana.

Dengan tampang polos Nori menjawab "Tadi Chika ngomongnya matahari pindah."

"Kan gue cuma umpama Nori."

"Ya, maaf Chik. Gue kira beneran." ungkap Nori.

Chika tidak menanggapi ucapan Nori. Ia langsung menyampaikan amanat dari Pak Subagio. Kelas boleh saja bebas tapi tugas wajib dikumpulkan.

Chika mengamati seisi kelas. Ia melihatku tertidur. "Bangun! Kalau mau molor jangan disekolah. Bisa kan?" teriak Chika sambil menggebrak meja.

Emosiku seperti bahan bakar reaksi yang dihasilkan begitu kuat. "Heh Chika bisa gak sih berkelakuan layaknya manusia normal? Punya etika gak Lo?"

"Wait, Lo bilang apa tadi? Manusia normal?" tepuk tangan "Harusnya lo mikir, siswi tukang bolos mau jadi apa? Pelacur?"

Kata yang diucapkan Chika memang begitu  keterlaluan. Aku tak sadar telah menampar dan mendorong tubuh Chika ke lantai hingga kepalanya terbentur. Usai itu terjadi pertengkaran hebat.

Semua yang melihat kejadian tersebut segera melapor kepada guru BK. Kemudian keduanya di panggil untuk diminta keterangan. Guru tersebut bertanya mengapa kejadian memalukan ini bisa terjadi? Bahkan ia bilang kelakuan kami sangatlah kurang pantas di sebut siswi.

Ya aku tahu itu, nyatanya sejujur apapun yang kita ucapkan tidak akan pernah memiliki arti kalau uang sudah berbicara. Seperti biasa aku di skorsing selama seminggu ke depan.

Aku keluar dari ruangan itu. Tak ada rasa cemas yang dirasakan. Justru aku makin yakin karena semua yang dilakukan berdasarkan kebenaran.

Kontak mata Anin mendapati Chika yang sedang meringis kesakitan ketika di obati. Namun tertahan dengan memamerkan senyum penuh kemenangan.

Semua orang memandangiku sinis. Memberikan pendapat dengan hujatan. "Hei Siska. Lo tau si Anindita kelas XII-A1 kan?"

"Iya, emang tuh orang kenapa lagi Wini?"

"Gue denger sih dia di skors lagi. "

"Kasus yang sama?"

"Ya... emang nggak kapok-kapok tuh orang. Gila sih, mungkin pada dasarnya biang masalah kali ya jadi hobinya begitu deh.

"Btw, gue pengen nanya itu emaknya apa nggak nyesel ngelahirin dia?"

"Mana gue tahu. Nih ya kalo kejadian tadi terjadi sama gue bisa di pecat gue jadi anak."

"Bukan hanya dipecat malah gak di akui di daftar warisan."

Begitulah, kira-kira mereka bergosip.

Arga saja merasa terganggu ketika semua orang bergosip. Akan tetapi orang yang ramai dibicarakan malah tak menunjukkan reaksi apapun.  Karena merasa ada yang aneh dengan tingkah gadis itu, Arga berlari menyusulnya. "Tumben, biasanya lo nyari ribut sama gue. Kenapa diam?"

"Ngapain kesini? Mau ngeledek?" tanyaku sinis.

"Su'udzhon banget jadi orang. Gue cuma nanya gausah sewot dong." balas Arga.

"Terus penting gitu gue jawab?" sinisku.

"Bisakah menghargai orang yang lagi khawatir?" tanyanya kembali.

"Sejak kapan gue harus peduli sama orang lain?"  bentakku.

"Hari ini dan seterusnya." jawab Arga.

"Lo pikir, lo siapa?" jelasku.

"Gue manusia bijak bukan buaya darat." ungkap Arga.

"Dasar gaje!" ucapku setelah itu pergi menuju kelas.

"Tinggal di jelas- jelasin aja pake ribet! Dasar cewek maunya di mengerti terus. Giliran cowok udah peka malah so jual mahal." ujar Arga.

FIRST TIME FOR EVERYTHINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang