Chapter 4

2.1K 193 13
                                    

Ada banyak sekali rasa yang ada di dunia ini. Seperti rasa manis, pahit, pedas, asin, asam, kecut dan sebagainya. Begitupula hubungan. Tuhan tak hanya memberikan rasa manis. Adakalanya percikan-percikan pedas menjadi bumbu penyedap di dalamnya.

Ketika pertengkaran-pertengkaran yang dihadapi mulai membuat muak, ingin rasanya pergi berpaling dari rasa yang pernah ada. Tapi, rasa cinta terlalu besar. Mengalahkan rasa lelah dan muak di dada.

Sama seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya, pada akhirnya Keano dan Kyla dapat baikan lagi untuk kesekian kalinya. Melupakan perihal Sebastian, si pria tempo hari. Menganggap apa yang pernah terjadi kemarin-kemarin hanya angin lalu, dan hari selanjutnya merupakan hari memperbaiki untuk menjadi lebih baik lagi.

Hari ini hari jum'at. Kyla tidak ada acara pemotretan. Katanya, hari ini adalah hari pertama majalah barunya beredar. Keano berencana akan pulang cepat, ingin memberikan sesuatu. Pria yang saat ini duduk di kursi taman itu tak hentinya tersenyum menatap benda mengkilat di tangannya. Sebuah kalung dengan bandul huruf KK di sana.

"Pasti Kyla suka," gumamnya menimang kalung cantik itu. Membayangkan kekasihnya ketika memakainya. Pasti cantik sekali, apalagi Kyla memang selalu tampak cantik.

Mata Keano mulai mengedarkan pandangan ke arah lain. Menatapi keadaan taman yang agak lenggang. Hanya ada beberapa ibu-ibu yang sedang bermain dengan anak-anak mereka. Ada dua remaja berbeda jenis kelamin yang tengah berbincang, juga seorang gadis yang sepertinya tengah menatapi ponsel. Sebelum berangkat ke kampus, ia sengaja mampir untuk mencari udara segar. Lagian, waktunya untuk memberikan materi pagi ini masih agak lama.

Tunggu, bicara soal gadis yang duduk di salah satu kursi taman di seberangnya, ia merasa sedikit familier. Seolah pernah kenal dengan gadis berambut hitam legam sepunggung itu. Ah ya, itu Seira Larasati, salah satu mahasiswi Keano.

Gadis itu menatapi layar ponsel, sambil sesekali beralih pada sebuah buku atau apapun itu-tidak terlalu jelas di penglihatan Keano- yang ada di tangannya. Wajahnya kelihatan sedih. Keano masih diam memperhatikan, hingga gadis itu mulai menundukkan kepala. Menghapus kasar wajahnya. Keano mengernyit. Seira menangis.

Lantas entah keinginan dari mana, Keano bangkit. Membawa langkahnya menghampiri Seira. Sedang gadis itu masih saja menunduk.

"Seira?" Keano memanggil pelan. Membuat Seira otomatis langsung mengangkat kepala. Diameter matanya melebar, agak kaget ketika mendapati wajah dosennya yang kini berada di hadapannya. "Boleh saya duduk?" tanya Keano pelan.

Seira menggeser posisi duduknya, memberikan ruang agar Keano bisa duduk di kursi panjang itu. Seira masih menatapi layar ponsel di tangan, tak peduli meski ada Keano di sebelahnya tengah memperhatikan. Sebenarnya ia ingin sendiri, tapi mana mungkin dia berani mengusir Keano yang merupakan dosennya?

"Ngestalk mantan?" Keano bertanya langsung tanpa basa-basi. Seira hanya diam tanpa suara, menaruh kembali ponselnya di pangkuan. Enggan menjawab pertanyaan Keano barusan.

Keano menghembuskan napas panjang. Menyandarkan punggung di kursi belakangnya. Mendongak, menatap langit yang lumayan cerah di atasnya. "Perpisahan itu memang sakit. Tapi, lebih sakit lagi ketika sudah berpisah namun masih sayang." Entah kenapa, hari ini Keano mendadak menjadi sok tahu sekali. Padahal belum tentu juga Seira mengalami hal demikian. Keano hanya menebak, tapi kebanyakan tebakannya selalu benar.

"Hubungan percintaan gak selamanya manis, Seira. Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap yang pacaran akan putus, entah karena menikah atau berpisah." Pandangan Keano masih fokus ke depan, menatap anak usia 3 tahun yang bermain bola dengan teman sebayanya. "Kamu pasti pernah menyumpah-nyumpahinya dalam hati, memebencinya setengah mati, mengatakan semoga dia tak berbahagia dengan pasangan selanjutnya. Tapi, di lain hari kamu diam-diam memperhatikannya, mencuri-curi waktu untuk bisa mengetahui bagaimana kedaannya. Kemudian cukup lega saat dia baik-baik saja sementara kamu di sini setengah gila." Keano menghela napas sejenak. "Kamu tahu dia sudah menyakitimu, mengecewakanmu. Namun, kadang cinta kita lebih besar dari rasa kecewa atas perbuatannya." Entah itu sebuah curhat tersirat atau dia hanya ingin menasihati Seira. Namun, sepertinya Keano hanya merasa iba.

DARAH GAUN PENGANTIN [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang