Chapter 15

2.1K 121 8
                                    

Benar kata orang. Kamu baru tahu apa itu arti memiliki jika sudah merasakan kehilangan. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Agar kamu paham bagaimana rasa sakit atas rasa bersalah.

Kyla merasa menjadi orang paling bodoh selama ini. Tidak tahu apa-apa tentang Ayah. Tidak tahu kejadian asli dibalik kisah-kisah yang disenandungkan Bunda setiap malam. Hingga rasa benci itu membungkus hatinya menjadi sedemikian keras. Menolak rasa sayang pada Ayah. Menutupinya dengan rasa benci. Hingga hari semua terungkap tiba. Dan hari ini, Kyla hanya dapat menangis di depan nisan Ayah.

Pemakaman lenggang. Tetangga, teman, dan para kerabat jauh sudah pulang. Menyisakan keluarga yang masih berkabung. Awan pekat di atas kepala menjadi simbol betapa sakitnya hati orang-orang yang berdiri di sana. Keano masih menenangkan Kyla. Merangkul kekasihnya, tanpa suara. Percuma membisikkan mantra-mantra pereda tangis. Tak berguna. Kyla memang seharusnya mengeluarkan kesedihannya hari ini. Keano tahu betapa Kyla sangat terpukul.

Sebastian berdiri di sana. Menatap datar nisan yang berada tak jauh di depannya. Setetes air mata jatuh tanpa melewati pipi. Langsung menetes ke tanah. Setelahnya usai. Ini tidak bisa dikatakan menangis. Tak akan ada yang menyangkanya. Air muka itu terlalu tenang. Ia malah melengos ke arah lain.

Kyla menoleh ke arah samping. Mendapati pria yang tidak mau ia temui bahkan untuk seumur hidupnya. Pria yang ia harap mati. Pria berkemeja hitam yang berdiri tak jauh darinya itu membuat rasa takut menyergap Kyla. Kenapa si berengsek ini harus berada di sini? Kenapa pula berdiri di jarak yang dapat dijangkau mata Kyla? Tentu saja dia hadir. Kyla hampir lupa siapa dia.

Kejadian di kamar apartemennya tiba-tiba muncul. Membuat Kyla mendadak membenamkan wajah di dada Keano. Entah takut atau apa. Tapi, wajah angkuh pria itu membuatnya trauma.

"Kenapa?" Keano sepertinya sadar Kyla ketakutan. Tubuh gadis ini tiba-tiba bergetar. Maka, Keano mengikuti arah pandang Kyla. Hingga mata Keano bertemu dengan mata tajam Sebastian yang tampaknya tengah melihat ke arahnya juga. Ia mengernyit heran.

"Aku mau pindah apartement."

Keano agak kaget mendengar permintaan Kyla yang tiba-tiba. "Lho? Kenapa tiba-tiba? Bukannya kamu nyaman di-"

"Aku mau pindah." Kyla memotong cepat, tak membiarkan Keano menyelesaikan ucapan.

"Oke." Lelaki itu mengiyakan saja. Mungkin Kyla butuh menenangkan diri setelah banyak peristiwa buruk terjadi. "Kamu bisa tinggal dengan Bunda untuk sementara sampai kita menikah."

Kyla langsung mengangkat kepala dengan cepat. Nampaknya kaget dengan ucapan Keano. "Kamu mau menikahiku sungguhan?"

"Kamu kira aku bercanda di depan Ayahmu tadi malam? Bahkan hari ini aku di samping nisannya."

"Tapi-"

"Kamu mau kabur lagi?"

"Aku-"

"Sudah. Bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini."

"Bunda ke mobil duluan." Bunda berbalik sambil mengelap mata dengan tisu. Mulai melangkah meninggalkan area pemakaman.

"Widan, bisa antar Bunda?"

Orang yang dipanggil oleh Keano segera menoleh. Mengangguk cepat. Sebelum akhirnya melangkah melewati tubuh Sebastian yang masih berdiri kaku.

Merasa ponselnya bergetar, Sebastian merogoh saku celana. Mendapati pesan dari Seira. "Mampirlah ke rumah. Papaku merindukanmu. Mama juga membuatkan makanan kesukaanmu." Isi pesan itu.

Sebastian tersenyum sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Di ujung sana, Seira duduk di depan TV menunggu balasan yang tak kunjung masuk.

DARAH GAUN PENGANTIN [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang