Chapter 17

3.9K 167 43
                                    

Banyak orang mengatakan bahwa kelemahan kita bukan berasal dari orang lain, tapi justru berasal dari orang terdekat kita. Dulu, Keano tak percaya itu. Hingga akhirnya Kyla mengkhianatinya. Dan kini, ia semakin percaya, setelah beberapa menit kemudian tersadar siapa sosok yang kini duduk santai tak jauh darinya. Sebelah tangan memegang pisau yang telah berlumur darah, dan seringai yang tak luntur di wajah yang mendadak begitu asing.

"BAJINGAN BANGSAT!" Detik ketika mendobrak pitu, Keano berteriak marah. Tapi, mendadak terdiam kaku seperti patung manekin. Jantungnya yang semula berpacu cepat seolah berhenti berdetak. Bahkan, ia menahan napas. Tak percaya dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya. Tak mau percaya. Tapi, bagaimana bisa ia menyebut ini mimpi? Terlalu nyata.

"Widan?" Bibirnya takut untuk menyebut nama itu. Tak percaya. Tidak mungkin. Hingga akhirnya sosok itu berbalik. Keano benar-benar runtuh. Widan Ardana duduk tenang di ranjang, tersenyum sok manis, seolah yang ada di tangannya adalah setangkai bunga, bukan pisau tajam.

"Terkejut, sobat?"

Bagaimana bisa mengatakan tidak? Bahkan, mengeluarkan suara saja tak mampu. Kaki Keano mendadak gemetar. Mengetahui kenyataan bahwa Widan mengkhianatinya. Menusuknya dari belakang.

"Lihat." Widan bangkit sambil mengedikkan dagu ke arah Kyla di ranjang. Keano mendadak lemas. Lututnya tak mampu menopang berat badannya sendiri. "Shttt. Dia sedang tertidur." Widan memberi isyarat agar jangan ribut.

Keano masih diam. Matanya merah. Bibirnya gemetar. Bukan waktu yang tepat untuk mengharu biru menangisi pengkhianatan kawan yang begitu ia percaya. Sosok cantik yang terbaring di ranjang memancing emosi Keano naik. Tak ada waktu untuk meratapi keadaan. Runtuh ketika mendapati mata Kyla tertutup. Kedua tangan diborgol di atas kepala. Kemudian gaun putih yang telah berlumur darah.

"BERENGSEK WIDAN ARDANA!" Setiap langkah Keano seakan berapi. Sementara Widan sepertinya sudah bersiap. Wajahnya masih setia tenang. Detik berikutnya, pria itu sudah tersungkur menghantam tembok di belakangnya. Pisau yang ia pegang terlempar entah kemana. Bibirnya robek terkena hantaman kepalan tangan Keano.

Widan meludah. Mengelap sudut bibirnya yang berdarah. Terkekeh menatap Keano yang terengah di depannya. "Pukulan lo bagus juga. Sudah lama kita gak bertanding, kan? Terakhir, dua tahun lalu saat berdebat masalah Kyla setelah gadis itu meninggalkan lo."

"CUKUP! Lo ternyata sebangsat ini!"

"Iya, itu gue. Seenggaknya gue gak bodoh kaya lo."

"KEPARAT!" Ketika Keano hendak menendang Widan, pria itu menarik kaki Keano. Memutarnya, kemudian mendorongnya hingga tubuh Keano menghantam lemari.

Widan bangkit. Membuka jasnya. Menyingkap lengan kemeja. Bekas luka memanjang di kedua lengannya terlihat. Luka yang ia dapat ketika di apartement Kyla. Keano kembali menyerang. Pertarungan tak dapat dihindari. Saling pukul, menendang, tersungkur, bunyi gedebuk sana-sini, napas memburu, kata-kata umpatan. Barang-barang berserakan. Pecah. Berhamburan di lantai. Biru lebam dan sakit tak dihiraukan. Sama-sama kuat. Masih terus saling menyerang.

Beberapa menit, tak ada yang kelihatan akan tumbang. Tersungkur, bangkit lagi. Hingga Widan menendang Keano, menghantam kotak kaca di samping lemari. Pecahan kacanya jatuh menghujani Keano. Menunduk, melindungi kepalanya dengan tangan. Serakan kaca bertebaran di lantai. Keano merasa sedikit pusing. Nyeri. Tangannya yang memang sudah penuh luka gores tertancap kaca lagi ketika hendak bangkit. Tak peduli. Ia kembali menendang. Entah sejak kapan Widan telah memegang pisau. Mengacungkannya tepat di depan wajah Keano. Membuat Keano terdiam tak dapat bergerak di tempat.

"Perlu gue ceritakan sebentar meskipun gue yakin lo gak mau dengar?" Widan terkekeh sebelum melanjutkan ucapan. "Gue udah lama jatuh cinta sama Kyla. Sejak bangku universitas. Saat itu dia udah pacaran sama lo. Dan gue gak suka itu. Gue udah gak suka hubungan kalian dari dulu." Keano kaget bukan main mendengar pengakuan Widan. Ia tak pernah tahu tentang ini. "Tapi, gue biarkan. Gue pikir gue bisa merelakan Kyla. Melihat kalian yang sangat cocok, gue mulai menyerah. Tapi, ternyata Kyla meninggalkan lo di hari pernikahan kalian. Dia mulai goyah sama lo. Saat itu gue mulai mikir, kenapa gue gak mulai rebut dia? Ketika lo memutuskan kembali sama dia, gue mulai memprovokasi. Gue gak pernah rela dia sama siapapun. Gue terobsesi untuk memiliki dia."

DARAH GAUN PENGANTIN [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang