"Hanbin bodoh!"
Laki-laki itu menghentikan langkahnya sejenak, menghela napas lantas menundukㅡsusah payah mengambil sepatu heels Yui yang baru saja terlepas dari kaki jenjang gadis itu. Hanbin membenarkan posisi Yui di punggungnya, memastikan gadis itu nyaman meski meracau tiada habisnya.
Sejak dari kedai tadi, Yui terus menggumam tidak jelas. Bahkan sesekali menjambaki rambut hitam laki-laki itu, tapi Hanbin pasrah saja.
"Hei!"
Kali ini apa lagi? Hanbin hanya memutar bola matanya maklum dan mencoba sabar ketika Yui menusuk pipinya dengan jari telunjuk. Gadis itu menatapnya dengan aksen mabuk.
"Beraninya kau menyamar jadi Hanbin, huh?!" Sentak gadis itu tapi justru terdengar lucu.
"Jangan tertawa!" Sergahnya, buru-buru membuat Hanbin mengulum senyum. "Kenapa senyummu sangat mirip dengan Hanbin? Hiks," lanjut Yui menggumam seraya mulai terisak kecil. Hanbin terus berjalan pelan, membiarkan hembus angin malam menemani setiap langkahnya sembari mendengar celotehan gadisnya.
"Ayah tidak mengerti perasaanku," lirih Yui di balik punggung laki-laki itu. Hanbin tertegun, tepat di depan pintu flat Yui dengan sebelah tangan yang memegang gagang pintunya. Tidak ada lagi gumaman, hanya suara deru napasnya yang hangat mengenai tengkuk laki-laki itu. Yui tertidur di punggungnya.
Hanbin menghidupkan lampu, lalu membaringkan tubuh gadis itu di ranjang. Meletakkan tasnya di meja lalu melepaskan sebelah heels yang masih terpasang di kakinya. Pelan-pelan dia mendekat, mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang seraya memerhatikan wajah Yui lamat-lamat. Dia merindukan gadis itu.
Lagi-lagi dia terdiam, mendapati jejak likuid bening yang belum sempat turun dari kelopak mata Yui. Ia mengusapnya pelan, seraya membenarkan anak rambut gadis itu yang menutupi wajah damai di hadapannya.
Beberapa menit berlalu, Hanbin bergeming dalam posisinya. Menikmati kenyamanan yang dia dapat setiap melihat gadisnya. Dia rindu, sampai jantung di dalam sana terasa menggelitik isi perutnya.
"Kenapa aku bisa menyukaimu?" Gumamnya seraya memainkan bulu mata Yui dengan jarinya. Tiba-tiba saja dia teringat pertemuan pertama merekaㅡdua tahun lalu, jauh sebelum Yui mengenalnya. Hanbin tersenyum tipis, sangat manis. Sayang, Yui tidak melihat senyumnya. Hanbin yakin Yui juga tidak mengingat semua adegan yang sering berkelebat dalam benak laki-laki itu ketika melihatnya.
Kelopak mata Yui pelan-pelan terbuka. Dia mengerjap, membuat Hanbin refleks tersadar dari lamunannya.
Beberapa detik mereka hanya saling menatap, seolah waktu berhenti di antara deru napas keduanya yang bertemu di bawah lampu kamar Yui.
"Hanbin," lirihnya nyaris tidak terdengar.
"Hm?"
Hanbin bergumam kaku. Suaranya serak entah kenapa. Perpaduan lembut tangan Yui yang menyentuh wajahnya serta aroma alkohol yang bercampur parfum gadis itu mampu membuat darahnya berdesir hangat dan berefek buruk pada tenggorokannya.
Yui membuka setengah bibirnya, menggantung jawaban yang laki-laki itu tunggu, tapi justru mengingatkan Hanbin pada lembut bibir yang tidak ia kecup sejak sepekan lalu.
"Aku rindu," ujar gadis itu dengan suaranya yang sama serak. Hanbin meneguk salivanya susah payah, karena jujur saja, bohong jika dia tidak tergoda. Dia laki-laki normal, yang sedang diuji dengan kemeja putih Yui yang basah akibat terkena soju. Memikirkan itu membuat kepalanya pusing sendiri.
"Tapi Ayah melarangku menemuimu," lanjut gadis itu seraya menatap lekat bola mata Hanbin.
Laki-laki itu tahu Yui sedang mabuk, tapi apa yang gadis itu katakan bukan sebuah kebohongan. Membuat dadanya ngilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberries & Cigarettes
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Saat aroma strawberry bertemu dengan rasa rokok. Saat rasa manis itu melebur dengan mint dari nikotin. Saat itu, dia memulai cerita baru dalam hidupnya. Cerita yang tidak akan bisa ia lupakan. HR (181010) #493 Ikon #255 hanbin #63 kimhan...