Bittersweet

990 187 64
                                    

...

Selembut serat permen kapas di musim panas, dan semanis gula-gula yang meleleh di lidah, melewati kerongkongan dengan sensasi tidak terlupakan yang menggelitik perut. Begitu lah cinta yang Hanbin beri untuk gadisnya.

Dia menyuguhkan sesuatu yang tidak pernah laki-laki lain beri pada perempuan di luar sana. Hal-hal kecil yang bahkan efeknya luar biasa memabukkan, dibanding anggur merah usia ratusan tahun milik bar di sudut kota.

"Hanbin, apa aku bagimu?"

"Kau duniaku."

Sesederhana itu. Bagi Hanbin, Yui memiliki gravitasi sendiri yang mampu menariknya kuat ke dalam pelukan gadis itu. Ia adalah poros tempatnya berputar dan menghabiskan waktu. Yui adalah semesta.

"Hanbin, apa yang kau pikirkan saat pertama mengenalku?"

"Kau harus jadi milikku."

Begitu segar. Laksana oasis di padang pasir yang teramat terik. Setiap kata dan perlakuan yang Hanbin beri, mampu membuat hatinya bergolak tidak karuan. Membuatnya ingin lagi dan lagi mendekap erat tubuh lelakinya.

"Hanbin, apa tujuan hidupmu?"

"Membuat Ibu, Hanbyul dan kau bahagia. Apapun caranya."

Laki-laki itu membuatnya merasa sangat berharga. Dan tidak ada alasan untuk tidak mencintainya.

Itu adalah jawaban yang Yui berikan ketika tamparan maha panas mendarat di pipi kirinya. Tangan kekar Ayahnya masih menggantung di udara. Terkilat penyesalan dalam sudut mata tua yang dibingkai keriput pada ujungnya.

Yui terduduk, menahan isakan karena ia tidak mau laki-laki di luar sana mendobrak ruang pribadi Ayahnya. Ia tidak mau membuat Hanbin khawatir, terlebih itu karena dirinya.

"Ayah membiarkanmu hidup mandiri, bukan berarti kau bisa sembarangan memilih laki-laki," ucap pria paruh baya itu dengan lirih namun menekan setiap intonasinya. "Kau lihat penampilannya? Mana ada laki-laki baik dengan banyak tato ditubuhnya!"

"Dia bukan laki-laki jahat seperti yang Ayah duga." Yui mencoba meyakinkan. Meski sejujurnya, setelah kritikan pedas tentang Hanbin, ia merasa menyesal mengajak laki-laki itu ikut dengannya. Bukan karena ia malu pada Ayahnya, ia bangga memiliki Hanbin sebagai kekasihnya, ia hanya tidak rela mendengar caci murahan yang tidak sebanding dengan lelakinya.

Perdebatan Ayah dan anak semata wayangnya itu berakhir dengan Tuan Han terduduk lemas pada kursi di ruangannya. Ia mengurut pelipisnya yang terasa berkedut, membiarkan Yui merangkak dan bersimpuh di hadapannya.

"Ayah, maafkan aku. Percayalah, Hanbin tidak seburuk itu."

Suaranya getir. Bibirnya bahkan masih bergetar dengan sudut yang sobek. Bingkai kaca di iris beningnya sudah pecah sejak makian pertama. Menyisakan jejak pilu dan perih yang masih menyesakkan rongga dadanya.

"Kuharap kau mengerti. Kau putriku satu-satunya. Aku tidak mungkin membiarkanmu hidup menderita. Semua untuk kebaikanmu."

.....

Kereta yang membawa mereka kembali dari Busan baru berhenti di stasiun kota pada pukul sembilan malam. Gadis itu lekas turun, mengabaikan Hanbin yang berjalan di belakang seraya menatap punggungnya. Yui tidak banyak bicara sepulang mereka menjenguk Ayahnya. Bahkan ketika Hanbin bertanya tentang luka di sudut bibirnya, Yui hanya tersenyum seolah ia baik-baik saja.

"Yui, tunggu!" Hanbin mencekal lengannya. Mempertemukan iris mereka dalam satu garis lurus.

Hanbin bukan laki-laki bodoh. Ia tahu apa yang terjadi, meski tidak seluruhnya. Ia tahu Yui berbohong tentang keadaannya, karena ia menyadari tatapan Tuan Han begitu angkuh, seolah menelanjangi ujung kepala hingga kaki saat melihatnya.

Yui buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia menunduk menatap sneakers yang Hanbin beri satu bulan lalu sebagai hadiah pertama, juga ganti rugi sepatu yang ia rusak. Dia mencoba mencari apapun selain sorot menuntut dari laki-laki di hadapannya.

Meski begitu Hanbin terlanjur menemui bingkai kaca yang siap pecah di manik gadisnya. Membuat semua tanya yang menumpuk kini justru tersangkut di tenggorokan.

Ini berat.

Hanbin menarik napas dalam-dalam. Mendongak mencari pasokan udara lantas memilih menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Jangan menangis," katanya lirih seraya mencoba tersenyum. Yui bahkan bisa mendengar nada suara Hanbin yang serak menahan sesuatu. Berhasil membuat liquid bening itu turun melewati pipinya.

"Tapi kalau ingin menangis, aku tidak akan menahanmu." Ia mengusap surai kecokelatan gadis itu.

"Cuma sembunyilah dalam jaketku."

Percaya atau tidak, ia bahkan tidak bisa menyembunyikan air matanya sendiri. Irisnya meradang meski tak sampai jatuh.

Dia laki-laki, pantang menangis.

Setidaknya, orang lain tidak akan melihat kalau gadisnya rapuh. Ia hanya akan menunjukkan kalau ia mampu membuat Yui bahagia. Bagaimana pun caranya.

Hanbin, aku mencintaimu.


.....

Selamat malam ...
Gimana? Aku ngilu di ulu hati pas ngetik ini. Gak tau gimana kalian ㅠㅠ Jangan lupa tanggapan dan dukungannya ya. Xoxo ❤

Strawberries & CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang