Stay

1.5K 167 114
                                    

Ini chapter terpanjang.
Selamat menikmati.





.....

Seoul, dua tahun lalu.

Matahari sudah menggantung di ujung horizon, membuat suasana jingga di sekitarnya semakin mendominasi, sementara kelopak mata sipitnya menatap kosong pada permukaan air yang tenang.

Lelah. Satu kata itu yang mendeskripsikan perasaan Hanbin.

Tubuh letihnya bahkan sudah penuh dengan lebam dan bekas pukulan yang masih begitu segar. Bibirnya pecah, pelipisnya berdarah, untung saja hidungnya tidak patah.

Napasnya menderu berat. Sesekali memejam, membiarkan angin menyapu wajah, lalu menarik napas dalam sebelum menghempaskan ke udara.

Hidup sangat tidak adil. Kenapa harus dia yang merasa seperti ini?

Tinggal dalam keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan, seorang Ayah pemabuk yang hobi berjudi dan seorang Ibu yang lemah, serta seorang adik perempuan yang masih balita dan tidak mengerti apa-apa, rasanya dia ingin mati saja.

Setiap hari dia harus melihat orang tuanya bertengkar. Dia harus rela bekerja serabutan, banting tulang demi membayar hutang sang Ayah, juga untuk membeli sepotong roti untuk Hanbyul. Siang dan malam tanpa henti dia melakukan semua hal yang dia bisa, semata-mata hanya agar keluarganya menjadi baik-baik saja. Nyatanya semua usaha itu sia-sia. Ayahnya tetap memukulinya, lalu meninggalkan mereka tanpa rasa iba.

Dia putus asa.

Berhari-hari mengurung diri di kamar, kini dia berakhir berdiri pada jembatan di atas sungai.

"Bagaimana kalau aku mati saja?"

Kakinya berpijak naik, sementara matanya terpejam dan dia menarik napas dalam-dalam.

"Semoga ini adalah akhirnya."

Dia mulai merasa ringan, hampir melupakan semua beban yang ada di pundak, tapi dia rasa beban itu kembali saat seseorang menyentuh bahunya.

"Kau terlalu muda untuk bunuh diri."

Hanbin menoleh, mendapati seorang gadis dengan rambut sebahu tengah menatap miris ke arahnya. Laki-laki itu mengernyit, dia terkejut saat dengan gerakan tiba-tiba, gadis tadi menariknya hingga terjatuh ke jembatan.

"Ck! Kalau mau bunuh diri, seharusnya cari tempat yang sepi," ujar gadis itu seraya melihat sekitar. Ada beberapa pejalan kaki dan juga orang bersepeda di sana. "Kalau di sini, kau tidak akan berhasil. Mereka akan menolongmu. Tanggung sekali!"

Hanbin masih tertegun melihatnya. Gadis itu memakai seragam rapi; kemeja biru dipadukan dengan rok putih di atas lutut yang terlihat pas di tubuh mungilnya. Dia memiliki sepasang kaki yang cantik dan mata bulat dengan iris kecokelatan yang begitu mengagumkanㅡyang entah sejak kapan sudah dia perhatikan dalam jerak dekat, karena gadis itu kini mendudukkan tubuhnya di sebelah Hanbin.

Laki-laki itu tersentak, lantas berdiri dari posisinya, membiarkan si gadis mengikuti pergerakan dengan ekor matanya. "Kenapa mau mati?" Tanya gadis itu blak-blakan.

"Bukan urusanmu!"

"Bagaimana bukan urusanku? Jika kau loncat sepuluh menit lalu dan aku tidak melihatmu, mungkin memang bukan urusanku," cibirnya diiringi decihan sebal. "Kau pikir aku akan diam saja melihat orang bodoh yang hampir saja terjun ke dalam sana?!" Dia menunjuk permukaan air dengan dagunya.

"Jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu!"

Gadis itu berdecak sebal lalu berdiri dari posisinya. Dia meletakkan lengannya pada pinggir jembatan seraya maniknya menatap lurus pada senja yang mulai tenggelam.

Strawberries & CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang