PADAM 5

12.2K 2.2K 82
                                    

Nitara sedang menunduk membuat pola di atas kertas yang telah ia siapkan, sebuah ransel anak dari kain perca berjumlah dua buah harus segera wanita itu selesaikan. Sementara di depannya, terdapat busa, tali tas, beberapa bentuk ring, dan resleting yang diletakkan dalam wadah plastik yang bisa disusun rapi menyerupai nakas mini. Sementara kain katun polos, flanel , perca bermotif yang akan ia gunakan sebagai hiasan dan tak lupa busa sebagai bahan dalam ransel yang akan ia buat berserakan di atas karpet yang ia duduki. Nitara berjanji akan merapikannya nanti, tapi sekarang ia harus menyelesaikan pesanan pelanggannya untuk ransel anak home made yang menjadi salah stau produk terlaris dari online shop miliknya. Online shop yang mulai beroprasi tiga tahun lalu, sebagai lahan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan wanita itu yang telah porak poranda. Mengingat ia tak lagi punya muka untuk kembali bekerja di tempat bekerja dulu.

Suara pintu yang disibak kasar diikuti langkah tergesa Anggara membuat Nitara mengangkat kepalanya sejenak, memandang dengan dahi berkerut pria jangkung yang kini sedang mengeluarkan isi perutnya di tempat mencuci piring dapur mini Nitara.

"Haishh, sudah kuduga mereka memang bermasalah."

Nitara belum menanggapi ucapan Anggara yang kini berjalan ke arahnya, lelaki yang mengambil tisu makan untuk mengelap mulutnya itu, lantas duduk dengan kesal di depan Nitara, tak lupa setelah ia menyingkirkan sedikit berbagai kain yang memenuhi karepet tempat duduk mereka.

"Kenapa kamu tidak mengatakannya? Kamu sengaja bukan?"

Nitara melepas pensil di tangannya, meletakkan di atas kertas yang belum tergambar pola sempurna lalu menatap Anggara yang memegang perutnya sambil meringis, mungkin sedang menahan mual.

"Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."

Niatara menjawab pelan dan tenang meski sekarang Anggara berdecak sebal.

"Kamu benar-benar tidak mengerti!"

Mata sipit Anggara yang melebar membuat Nitara menggeleng kembali. Setelah tinggal bersama hampir selama seminggu, ia menyadari bahwa lelaki jangkung yang berbagi hidup dengannya kini sangat ekspresif. Wajahnya yang terlihat teduh dan tenang bisa sangat berubah tergantung moodnya.

"Kamu bisa menjelaskannya."

Nitara memutuskan mengalah, membuang sedikit waktunya untuk mendengar cerita lelaki itu. Anggaplah ini sebagai bentuk terima kasih karena Anggara telah membuat tempat tinggal Nitara menjadi lebih layak huni karena berbagai perlengakapan yang memang dibutuhkan manusia untuk menjalani hidupnya secara normal.

"Mereka... maksudku Adije dan Revan memang sesuai dugaanku. Astaga mereka bukan saudara Nitara, dan tadi saat aku hendak meminjam palu untuk memasak paku pada papan di bawah meja dapur itu, aku melihat mereka... mereka...."

Nitara semakin mengerutkan kening, bahkan kini rasa penasarannya terpancing melihat bagaimana Anggara menutup mulutnya, terlihat semakin menahan mual.

"Mereka kenapa?"

"Berpelukan."

"Dan..."

"Sangat erat."

"Sesama lelaki itu wajar berpelukan Gara."

"Aku tahu tapi ini di dalam kamar yang pintunya tertutup."

"Itu bukan hal yang aneh menurutkan."

Balas Nitara gemas melihat Anggara bersungut-sungut karena terus dibantah sejak tadi.

"Tidak aneh jika mereka tidak sama-sama ... ya Tuhan, aku tidak tahu harus menggambarkannya seperti apa!"

Nitara mengerjapkan mata mendengar penjelasan Anggara sebelum kemudian berlari menuju tempat mencuci piring dan memuntahkan isi perutnya, persis yang dilakukan Anggara tadi.

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang