PADAM 20

11.3K 2.1K 236
                                    

Mereka memutuskan berbicara di salah satu restoran makanan cepat saji di dekat komplek pertokoan tempat bekerja Anggara. Duduk berhadapan di temani minuman bersoda dan dua porsi ayam crispy yang tidak berminat untuk disentuh, terlebih oleh Anggara yang kebetulan sudah menuntaskan makan siangnya.

"Terima kasih karena mau berbicara denganku padahal ini jam makan siang."

"Aku sudah makan siang kok, jadi tak perlu merasa sungkan."

"Mmm lalu kenapa kamu memesan makanan lagi?"

"Karena ini tempat makan, kita tidak bisa berbicara leluasa jika tidak memesan makanan."

"Tapi makanan itu akan sia-sia padahal banyak orang yang tidak bisa menikmati makanan  setiap hari."

Cahya bergumam pelan membuat Anggara tertegun, gadis ini dengan kebaikan dalam dirinya memang sering membuat Anggara merasa takjub. Mungkin itu adalah alasan terbesar mengapa lelaki itu jatuh cinta pada Cahya dulu.

"Jika begitu kamu saja yang habiskan, kamu suka ayam crispy kan? Makan juga bagianku."

Kali ini Cahya lah yang tertegun, sebelum kemudian rona merah menghiasi pipinya.

"Aku tidak menyangka kamu masih ingat apa yang kusukai."

Rasanya Anggara ingin membenturkan kepalanya di meja depan mereka. Rona merah di pipi Cahya menunjukkan bahwa gadis itu terlalu berlebihan memaknai ucapan Anggara. Mengapa wanita cenderung memberi harapan lebih pada dirinya sendiri sih?

"Kita menjalin hubungan cukup lama Cahya, banyak kenangan yang kita bagi. Aku rasa aku memiliki ingatan cukup baik hingga belum lupa."

Dia sudah menjawab secara diplomatis tapi saat Cahya mengulum senyum Anggara ingin mendesah lelah saja.

"Terima kasih karena meski sempat berpisah kamu tidak  melupakan kenangan di antara kita."

Anggara memejamkan mata. Pertemuan ini harus segera diakhiri dan pembicaraan diantara mereka jelas mesti tuntas.
Membuka mata Anggara menemukan mata Cahya yang berbinar penuh damba, membuat letupan rasa bersalah begitu kuat di hatinya.

"Mari mulai saja Cahya, tujuan kamu memintaku untuk bisa berbicara. Membahas tentang kita seperti yang kamu katakan."

Anggara menegakkan badan yang sedari tadi disandarakan. Dengan jari-jari yang salin ditautkan, lelaki itu menatap lekat pada gadis yang dulu menghiasi hari-harinya dengan indah. Anggara mencari getaran yang mungkin masih tersisa dari masa lalu mereka, tapi nihil. Ia hanya merasakan sedih karena menyebabkan gadis sebaik Cahya mengalami sakitnya cinta pertama.

"A-aku sudah berusaha menghubungimu melalui ponsel, maafkan aku karena nekat meminta nomer pribadimu pada rekan kerjamu. Terlebih beberapa kali mencarimu ke tempat kerja, tapi kita tidak pernah bertemu."

Anggara ingat nomer asing yang kerap melakukan panggilan padanya. Beberapa text  pesan yang hingga saat ini belum dibuka Anggara. Lelaki itu bukan tipe manusia yang menghamba pada alat komunikasi. Jadi hari-harinya diisi dengan bekerja lalu menguntit Nitara. Anggara bahkan tidak aktif di sosial media karena tahu bahwa Nitara juga seperti itu. Wanita itu hanya punya satu online shop yang dijadikan pundi penghasil uang. Tidak seperri wanita yang memiliki berbagai media sosial untuk  menunjukkan eksistensi diri. Jadi ia tak perlu terus memelototi layar ponselnya untuk mengetahui kabar wanita itu.

"Kamu melamun Anggara, apa ada yang menganggu pikiranmu?"

Anggara tersadar dan langsung memasang senyum kecil permintaan maaf pada Cahya.

"Untuk apa kamu menghubungiku dan berusaha sedemikian keras agar kita bisa bertemu?"

Rona di wajah Cahya perlahan hilang saat mendengar pertanyaan Anggara.

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang