PADAM 13

9.3K 2.2K 120
                                    

Nitara menelan ludah, ia tak mengerti mengapa sekarang merasa takut melihat ekspresi Anggara. Lelaki yang telah melepas sepatunya dan langsung menuju dapur untuk mengambil air minum membuat Nitara menahan nafas beberapa kali. Ini lucu dan jelas konyol, kenapa ia harus bersikap seperti seorang wanita yang tertangkap basah telah berkhianat. Oh atau mungkin di alam bawah sadar Nitara ia selalu memberi label pengkhianat pada dirinya sendiri. Kegagalan pernikahan dan kematian ayahnya adalah bukti nyata bahwa wanita itu pernah melakoni peran menjijikan itu. Ya pengkhianat adalah sosok menjijikan bagi Nitara.

"Dia kelihatan bener--bener manly jika sedang kesal ya? Hehe...."

Butuh beberapa detik bagi Nitara untuk menyerap ucapan Revan dan wanita itu langsung terperangah melihat ekspresi kagum alih-alih cemas di wajah lelaki muda yang terlihat cantik di depannya. Iya, Revan daripada dikatagorikan tampan malah terlihat cantik. Dia punya mata yang sipit, dagu yang sedikit runcing, bibir yang merah, mata hitam bulat, hidung yang mancung dan dibingkai wajah sedikit tirus. Nitara yakin ada bahwa gadis-gadis remaja bahkan akan iri dengan kulit wajah Revan yang terlihat begitu putih, bersih dan terlihat nyaris tanpa pori-pori. Astaga bahkan setelah tidak terlalu mempedulikan keberadaan Revan mata Nitara masih demikian jeli.

"Kamu benar-benar tidak takut kehilangan nyawa?"

Itu pertanyaan konyol yang terlontar dari Nitara.

"Takutlah.... Astaga aku bukan kucing yang memiliki cadangan nyawa jika mati." Mata Revan membesar saat ekspresinya terlihat heboh. "Tapi Gara jelas tidak akan mau menjadi pembunuh hanya untuk lelaki yang tidak tertarik pada kekasihnya, benar bukan?"

Revan mengedipkan mata dan Nitara mengkedikan bahu akhirnya. Bagaimana ia lupa bahwa Anggara mengetahui fakta kelainana orientasi seksual Revan. Tapi kenapa lelaki itu malah terliha begitu kesal?

"Kalian sudah selesai berbisik di belakang punggungku?"

"Astaga ucapanmu seolah kami adalah manusia yang suka menggosipkan orang."

Nitara memilih diam saat akhirnya Anggara mengambil tempat duduk di sampingnya setelah menyingkirkan beberapa bahan pembuatan tas yang berceceran.

"Aku tidak tahu kalian dekat."

"Aku yang mendekatkan diri."

Kilat mata Anggara terlihat berbeda saat mendengar jawaban Revan dan Nitara yang sejak tadi memilih menjadi patung mulai bertambah gelisah duduknya.

"Kamu lucu sekali jika cemburu... santai Gara, aku tidak berniat merebut wanitamu. Aku memiliki lelakiku sendiri."

Ucapan terakhir Revan membuat Anggara dan Nitara bertatapan, dan wanita itu berusaha menyembunyikan tawanya saat melihat bagiamana raut ngeri mulai tergambar wajah lelaki itu. Mungkinkah Anggara sedang kembali mengingat adegan Adjie dan Revan dulu?

"Jadi ada urusan apa kamu ke sini?, maksudku kamu tidak pernah ke sini sebelumnya."

"Tahu darimana jika aku tidak pernah ke sini? Ya ampun Gara kamu lucu sekali jika merasa posisimi terancam. Ah sudahlah sebaiknya aku kembali ke kamarku. Kamu tampak butuh istirahat Gara agar kepalamu bisa berkerja normal."

Dengan santai Revan melangkah keluar dan tak lupa menutup pintu setelah mengatakan akan menemui lagi Nitara nanti.

"Lelah sekali."

Nitara buru-buru menjauhkan gunting dan kain pola yang sedang ia kerjakan saat tiba-tiba Anggara merebahkan kepalanya dipangkuan wanita itu.

"Mandilah dulu lalu makan, setelah itu kamu bisa istirahat."

"Aku mengantuk."

"Iya tapi bersihkan diri dulu agar tidurmu nyenyak."

"Tidur dengan kepala di pangkuanmu adalah hal ternyenyak sedunia."

Anggara membelai leher jenjang Nitara sambil terus menatap wanita yang kini menerawang ke depan alih-alih membalas tatapan lelaki itu.

"Aku kira kamu benar-benar marah tadi."

Ucapan Nitara terdengar gamang, seolah ragu untum dikatakan.

"Hmm.... jikapun marah apa aku punya alsan untuk itu?"

Nitara pada akhirnya menunduk dan membalas tatapan Anggara tapi bukan kelegaan yang ditangkap lelaki itu di wajah Nitara melainkan sesuatu yang asing, yang menganggu.

"Benar kamu tidak punya alasan untuk marah," Nitara menjeda kalimatnya, wanita itu menjalankan jemarinya di sepanjang kening lalu turun ke hidung Anggara dan berakhir di dagu lelaki itu "Bangunlah Anggara karena entah mengapa aku tidak lagi ingin memangku kepalamu hingga kamu terlelap."

Tbc

Love,

Rami

Ini part yg paling tidak maksimal saya tulis. Menyebalkan sekali rasanya saat memaksakan diri menulis dalam keadaan tidak mood.

Semoga kalian tidak ikut kecewa seperti saya membaca part ini.

1000 vote: next part



PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang