Anggara tersenyum pada wanita muda yang kini malu-malu melihatnya. Mereka pernah punya cerita, tapi itu dulu. Di masa lalu yang Anggara sudah lama berusaha lupakan.
Pertemuan mereka jelas tak sengaja. Mobil wanita itu mogok tak jauh dari bengkel tempat Anggara bekerja, dan bak opera sabun akhirnya mereka dipertemukan dalam satu garis takdir yang sama. Anggara tidak menangani mobil wanita itu, karena bisa dikatakan ia bukan montir biasa, pekerjaanya adalah memodifikasi mobil-mobil dari kalangan atas langganan bengkel milik temannya ini. Namun, sekali lagi bak opera sabun, sang teman merangkap bosnya itu langsung memilih atau bisa dikatakan memberi titah dalam bahasa kurang ajar agar Anggara mau menemani gadis muda itu mengobrol sembai menunggu mobilnya "kelar" diperbaiki. Anggara ingin menolak, tapi romansa yang tak tuntas diantara mereka tak bisa membuat lelaki itu lancang berkata tidak. Betapa sial perasaanya memang.
"Kita... sudah lama sekali tidak bertemu."
Suara merdu itu keluar dari bibir wanita yang meletakkan teh botolnya di atas meja plastik yang disediakan untuk pelanggan di depan bengkel itu. Dan Anggara hanya menarik sudut bibirnya sungkan.
"Kamu semakin tinggi."
Sekali lagi Anggara hanya menarik sudut bibirnya sebagai tanggapan. Ia masih ingin melahap penampilan wanita itu.
"Dulu kamu akan membalasku dengan mengatakan aku semakin bulat saja, tapi kini kamu hanya tersenyum."
Anggara menggaruk kepala belakangnya salah tingkah, bagaimana bisa ia bersikap se luwes itu pada wanita yang telah ia berikan kepedihan tanpa ampun.
"Kamu... apa kabar?"
Wanita itu tak langsung menjawab, suara tawanya yang merdu membuat dada Anggara mengembang kurang ajar. Sial ia tak pernah tahu rasa itu masih tertinggal.
"Aku baik-baik saja, setidaknya setelah sekian lama, yah aku baik-baik saja sekarang."
Anggara tersenyum kecut, ia tahu jelas makna baik-baik saja yang diungkapkan wanita yang duduk bersebrangan meja dengannya.
"Kalau kamu... apa kabar Anggara?."
"Sama, baik-baik saja."
"Aku membenci kamu baik-baik saja."
Anggara menatap wanita itu terperangah, matanya masih sebening yang ia ingat, tapi dengan raut wajah yang keras, Anggara tahu bahwa luka wanita itu tidak sembuh sempurna.
"Seharusnya kamu tidak baik-baik saja. Kamu tidak boleh baik-baik saja. Mengusaikan cerita kita dengan cara tidak manusiawi tidak boleh membuatmu baik-baik saja. Itu tidak adil untukku."
Anggara menggertakan rahangnya, gulungan rasa bersalah kembali menampar lelaki itu. Tidak ada pembenaran untuk lelaki yang memilih meninggalakan saat cinta terasa begitu kuat bukan?
"Itu sudah lama sekali. Kamu tidak harus menyimpan kekecewaan itu terlalu lama."
"Kamu bahkan tidak berhak mengatakan hal itu!"
Suara wanita itu keras, bahkan memancing beberapa orang untuk menoleh ke arah mereka.
"Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masa lalu."
"Tidak ada saat yang tepat untuk masa lalu Anggara, setidaknya itu bagimu. Bahkan jika aku mengemis dan menangis darah, kamu tidak akan sudi untuk duduk bersama dan memberiku jawaban, mengapa kamu meninggalkanku seperti itu!"
Sekali lagi suara wanita itu keras, bahkan kini cukup lantang. Anggara yakin bahwa pertemuan mereka pasti tampak seperti drama perpisahan yang menyesakkan di mata orang-orang yang melihatnya kini. Namun, jelas ini memalukkan. Dia tidak mau menjadi tontonan siapapun.
"Berhenti, berhentilah. Aku tidak ingin menciptakan keributan. Kisah kita sudah terlalu lama usai. Kita memiliki hidup masing-masng sekarang."
"Lucu!"
"Aku mohon."
"Itu usai untukmu, hidup masing-masing itu hanya berlaku padamu. Tapi aku dan perasaanku tidak pernah usai, aku dan keinginan hidup bersamamu tidak bisa dihentikan."
Helaan nafas Anggara tajam, bagaimana ia bisa lupa bahwa wanita lemah lembut itu bisa menjadi mengerikan jika inginnya tak tercapai. Banyak bukti di masa lalu saat mereka bersama tentang bagaimana kerasnya sebuah keingainan dari kekasihnya dulu.
"Aku tidak bisa kembali ke masa lalu."
"Aku yang akan membautmu kembali seperti masa lalu."
Anggara menatap jemari lentik yang kini menggenggam tangannya di atas meja. Ia terlalu bingung untuk bisa menghentikan kegilaan pemikiran Cahya, cinta pertamanya.
Dan lelaki itu pun tak menyadari, bahwa di dalam taxi yang sempat berhenti di depan bengkel tempatnya bekerja tadi, ada seorang wanita yang memandang dengan senyum getir pada Anggara dan sang mantan kekasih. Wanita yang akhirnya menyadari bahwa sekali lagi, ia tak bisa menjadi tujuan akhir dari siapapun. Nitara yang tiba-tiba kembali merasa tersingkirkan.Tbc
Love,
Rami
Duarrrrrr.....
Iyeshhh kita udah mulai masuk konflik,
Saya nggak tahu kenapa si ilham tiba2 nyerbu kepala saya buat cerita PADAM ini, dan kabar baiknya cerita ini berpotensi di update setiap hari, hohoho
Tergantung vote dan komen kalian, saya coba 700 vote deh, nyampek saya langsung up besoook.
Dannnnnn kemungkinan cerita ini akan lebih dahulu tamat dari PENDAR, karena cerita ini sebenarnya jauh lebih simple dari cerita Rajendra ( kalo babang Jendra mesti mikir keras buat satu partnya)
Sooo jangan malas klik bintang jika kalian mau baca nyaman . Info lagi, begitu tamat cerita ini akan saya hapus sebagian, karena saya sudah punya penerbit yang dituju untuk menerbitkan.
Sumpah saya lagi bersemangat, datangnya tokoh cahaya bikin alur cerita ini jadi jelas banget dan pengen segera diselesaikan, huaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
PADAM
Romance(SEBAGIAN PART TELAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN) Nitara, seperti namanya adalah cahaya bintang. Yang selalu bersinar menerangi kegelapan. Namun apa jadinya jika kesalahan bodoh yang menghasilakan video 'pengkhinatan' dengan lelaki yang buk...